Perbandingan Perkembangan Pendidikan Seni di Inggris dengan Indonesia

1. Perkembangan di Inggris

Periode Pra-Perang Dunia I

Menurut  Fleming, Mike,
(2010),
  dalam rangka untuk memahami
kurangnya perhatian terhadap seni dalam pendidikan (dalam dokumen resmi)
penting untuk mem pertimbangkan konteks sosial yang lebih luas pada pergantian
abad ini. 
Menurutnya tahun 1870 telah dipilih sebagai titik awal
perkembangan pendidikan seni di Eropah, yaitu Undang-undang Pendidikan
Dasar,
  dan tenaga sukarela yang disedia
kan di sekolah dasar untuk ‘mengisi kesenjangan’ pendidikan anak-anak. Dewan
sekolah diperkenalkan dan diberi kekuatan untuk menciptakan sekolah-sekolah
baru dan mensubsidi anak-anak miskin. Pada saat itu sudah ada ide untuk
pengembangan tenaga kerja terdidik dan tidak hanya diinginkan tetapi sangat
penting untuk dilaksanakan (Hopkins, 1994: 314).

Apa yang dipikirkan secara formil saat itu di Eropah sebenarnya lebih
peduli pada masalah-masalah praktis ketimbang apakah sekolah harus dikelola
oleh upaya sukarela atau oleh negara, atau ketimbang dilihat dengan perspektif
teoritis tentang tujuan yang lebih dalam dari pendidikan dan peran seni.


Menurut Dent (1970: 3) yang berkomentar bahwa dalam sejarah
pendidikan di Inggris, ‘ sulit disangkal bahwa Inggris pada tahun-tahun 1860-an
adalah salah satu negara yang berpendidikan terburuk di Barat.’


Awal Tindakan Pendidikan Seni

Menurut  Fleming, Mike,
(2010),  pada awalnya pendidikan seni
dalam banyak laporan berfokus pada struktur kurikulum nasional dan isi
kurikulumnya hampir secara eksklusif berfokus hanya pada membaca, menulis dan
aritmatika dasar. Dari segi kepastian datangnya murid ke seko lah juga
bermasalah saat itu, disamping masalah pengembangan kurikulum. Dan  diperburuk lagi oleh kurang nya jumlah guru
yang memadai untuk mengajar. 
Undang-Undang Pendidikan tahun 1902 yang dibangun pemerintah
daerah, merupakan langkah besar dalam membawa pengembangan namun penekanannya
masih lebih pada struktur daripada isi kurikulum.

Pada tahun 1944 pendidikan menengah mulai dicanangkan untuk semua
orang,  beberapa kemajuan pesat telah
dibangun sejak hari-hari gelap dari pergantian abad itu, yang juga berfokus
pada pertanyaan dasar dari kesejahteraan fisik anak-anak dan perbaikan bangunan
dan lingkungan sekolah. Hal ini tidak mengherankan bahwa seni tidaklah menjadi
prioritas utama dalam pendidikan, karena keasyikan dengan isu-isu dasar seperti
pelajaran membaca, kehadiran di sekolah dan kesehatan fisik.


Salah satu alasan untuk mengalihkan perhatian pada pengembangan
kurikulum adalah tantangan praktis, tantangan lain adalah pengembangan
kebijakan utama. Code of Regulations oleh Lowe tahun (1862) memberikan hibah
(bantuan) kepada sekolah berdasarkan hasil pemeriksaan yang memuaskan dalam
pembelajaran membaca, menulis dan berhitung (Hurt, 1971: 208), ‘pimpinan
sekolah mengambil materi pembelajaran dengan standar penilaian minimum, sebagai
standar penilaian maksimum mereka ‘. Salah satu efek dari ‘hibah berdasarkan
hasil’ itu adalah pembatasan kurikulum oleh sekolah yang tidak mendapatkan
insentif (hibah). Regulasi ini selama tiga puluh tahun berikutnya
dihapuskan  (Maclure, 1986: 79).
Kebijakan tersebut memberi efek buruk terhadap 
kurikulum dan pembelajaran yang berfokus pada kreatifitas. Yaitu sebuah
gagasan yang progresif yang beredar pada saat itu,  namun dampaknya tidak besar. Proses penilaian
hasil belajar siswa pada abad kesembilan belas hanya berfokus pada membaca,
menulis dan berhitung. Tes membaca di standar V (usia 10 tahun) adalah membaca
‘beberapa baris puisi dari buku bacaan yang digunakan di kelas dan pada standar
VI membaca ‘paragraf pendek biasa di koran atau narasi modern lainnya ‘(Ibid:
80).


Pendapat bahwa seni dipandang sebagai sesuatu yang mewah
ketimbang lainnya – yaitu sebuah sikap yang menonjol pada periode ini, tetapi
juga sebagai sesuatu sikap yang menerus sampai saat ini. Menurut  Fleming, Mike, (2010),  mungkin sebuah dokumen penting  termuat dalam laporan tahunan 1867 dari
praktik- praktik yang berlaku dapat dilihat 
dari catatan Matthew Arnold sebagai inspektur sekolah, yang mengkritik
proses mekanistis dari pengajaran dan penilaian guru, dan dia menganjurkan agar
guru lebih fleksibel dan mementingkan kecerdasan sebagai tujuan pembelajaran.


Pemeriksaan lain dari sekolah di Birmingham, Leeds, Liverpool dan
Manchester pada tahun 1870 mengesankan bahwa sebagian besar sekolah-sekolah di
daerah-daerah mementingkan pembelajaran dan kurikulum mereka pada membaca,
menulis, berhitung dan menjahit (untuk perempuan).



Seni Kaum Elit = Seni dan Budaya Tinggi – Liberal Art

Meskipun pendekatan sempit dan utilitarian mendominasi pemikiran
orang tentang sekolah, ide-ide yang lebih liberal dapat dipastikan sebagai
pengaruh gerakan ‘Pendidikan Baru’ dari 
Rousseau, gagasan pemikir ini 
mempengaruhi sejumlah publikasi pendidikan di Inggris; seperti buku
“Pendidikan Praktis Edgeworths” yang diterbitkan tahun 1798. Buku ini
menganjurkan metode pembelajaran di sekolah yang didominasi kegiatan “non—book”
(bukan berbasis buku) tetapi berbasis pengalaman langsung di lapangan termasuk
‘percobaan ketangkasan dan aktivitas’, olahraga, permainan, ‘observasi,
eksperimen dan penemuan’ dan  pendidikan
bermain seperti bermain boneka, cetakan dan puzzle.


Menurut  Fleming,
(2010),  kontras antara pendekatan
utilitarian dan pendekatan yang lebih liberal terhadap pendidikan juga
tertangkap dalam novel ‘Hard Times’ oleh Charles Dickens (1854). Dimana
diceritakan tentang obsesi tokoh Gradgrind yang sempit tentang ‘fakta’ dan
pendekatan fungsional yang murni dari pendidikan. Apa yang kurang dirujuk
adalah visi yang kontras dalam novel ini yang terlihat dalam sifat dan latar
belakang kehadiran pertunjukan sirkus:  menyukai dan melatih imajinasi, hiburan, adalah
pendidikan perasaan dan kepekaan
. Sebuah sirkus sebenarnya melambangkan
pentingnya hiburan, dan Gradgrind, ketika dia mendapati anak-anaknya mengintip
melalui lubang untuk melihat sirkus, sebenarnya dapat diperluas dan menjadi rujukan
pentingnya seni — namun komentarnya (dalam novel ini) meremehkan — ‘Seharusnya saya segera menemukan anak-anak
saya membaca Puisi
‘(1854: 23). Adanya keterbatasan pendidikan anak-anak
untuk berimajinasi terlihat pada kehidupan disfungsional anak-anaknya; dan
Gradgrind  sebagai tokoh cerita di novel
ini hanya menyadarinya menjelang akhir novel. Tidak terlalu sulit untuk membaca
novel ini sebagai pembenaran implisit atas pentingnya aktivitas artistik untuk
memperkaya  kehidupan manusia. Namun, ada
sedikit bukti bahwa pandangan tentang pembenaran seni ini menembus pemikiran
pendidikan formal sampai tingkat tertentu.


Sebenarnya untuk memahami perkembangan pendidikan seni di periode
ini juga akan lebih rumit oleh adanya perbedaan antara perkembangan seni di
sekolah swasta dan sekolah umum (publik). Dan mungkin diharapkan bahwa
pendidikan seni berkembang lebih banyak di sekolah umum yang secara tradisional
dibiayai serta memiliki sumber dana yang baik, dan mapan. Namun menurut Fleming
perubahan itu tidak banyak, karena fokus pembelajaran dan  kurikulum masih bersifat klasik. Misalnya sekolah
Tom Brown (Hughes, 1857) memiliki wawasan tentang tujuan pendidikan; seperti
yang dipahami oleh kebanyakan kelas menengah dan atas saat itu, dan hal ini
dipertahankan. Karena dianggap sebagai konsumsi masyarakat elit dan pada jenis
sekolah elit ini ada kekebasan bermain misalnya permainan Rugby yang disenangi
karena melambangkan sifat kejantanan sebagai milik kelas sosial elit saat itu.
Dan hal ini berlangsung sampai Perang Dunia Pertama. 


Menurut  Fleming pembuat
kebijakan pendidikan pada awal abad kedua puluh adalah orang-orang sebagai
produk-produk dari pendidikan abad kesembilan belas. Tak diragukan lagi
sebagian besar akan mengalami pendidikan elit yang dianggap cocok untuk kelas
mereka. Untuk merubah sikap kepada corak lain seperti sekolah yang bersifat persiapan
untuk bekerja, tentu saja tidak bisa disulap dalam semalam – karena beberapa
pembuat kebijakan takut akan  resikonya.
Namun perhatian negara dan masyarakat di Inggris terhadap pendidikan semakin
luas hal ini tercermin dalam pendidikan anak-anak. Seperti kutipan di bawah
ini.

The Bryce Commission of 1895 (which led to the 1902 Act)
conveyed a change in tone when stating that the purpose of schooling was no
longer to give the working class child a basic minimum education: indeed,
children should be given opportunities to make the most of their schooldays
(Glass, 1971:28). In 1908, the president of the National Union of Teachers was
reported as saying that:

” the first object of all legislation on education should be to
secure for every child in the realm an equal opportunity to obtain a sound
education, given by qualified teachers, under the best possible conditions,
irrespective of creed or the social position of the parents (The Times, 1908:
10).

Dengan adanya perbedaan pendidikan swasta dan publik, dan
perbedaan di antara masing-masingnya akan membuat generalisasi pendidikan
menjadi sulit. Misalnya jadwal pelajaran di Winchester dan Bedales pada tahun
1900 menarik untuk dibandingkan, karena yang satu fokus pada pendidikan tradisi
sedang yang lain memiliki ide-ide yang progresif – atau dalam kata-kata Badley,
‘sebuah laboratorium pendidikan untuk
menguji penerapan prinsip-prinsip berbagai metode
‘(Badley, 1905: 257).
Pertama terlihat pendidikan klasik yang sempit dan yang kedua menyertakan mata
pelajaran yang lebih kreatif dan luas seperti menggambar, menari, dan bahkan
berkebun.


Karena seni dikaitkan dengan rekreasi, tidak dapat dihindari
bahwa perbedaan kelas sosial menjadi relevan ketika membuat penilaian tentang
perhatian relatif diberikan kepada mereka di sekolah-sekolah. Tapi perspektif
gender juga relevan karena ada kecenderungan untuk melihat musik dan seni
sebagai hobi kelas atas untuk wanita. Pada zaman Victoria, dimana pelajaran
musik lebih atau kurang identik dengan bernyanyi; membeli alat musik tentu saja
berada di luar jangkauan kemampuan murid yang relatif miskin. Demikian pula,
pelajaran  seni rupa juga bisa dianggap
sesuatu yang mahal dan saat itu.


George Sturt (1932) dalam laporannya tentang pendidikan masa
kecilnya mengenang bagaimana belajar ‘Spesialis’ seni di sekolah anak laki-laki
setempat pada tahun 1860-an. Tetapi hal ini terjadi hanya dua kali setahun, dan
tentu saja George Sturt harus menyediakan peralatan sendiri untuk belajar seni.


Meskipun kurangnya perhatian guru terhadap seni dalam dokumen
resmi (catatan sejarah) ada beberapa guru praktisi yang memiliki ide-ide yang
khas tentang pembelajaran/ pendidikan 
berbasis seni misalnya Harriet Finlay Johnson (1911), Henry Caldwell
Cook (1917), Marion Richardson (1948). Finlay-Johnson adalah kepala sekolah
desa Victoria di South Downs yang secara dramatis menantang metode otoriter
sebagai dasar pendidikan saat itu (Bowmaker, 2002). Caldwell Cook, misalnya
memperkenalkan ‘Cara Bermain’ dalam pendekatan untuk mengajar di Sekolah Perse di
Cambridge dan Richardson adalah seorang tokoh kunci dalam pengembangan
pengajaran seni visual. Praktisi lain seperti Susan Isaacs, Homer Lane, AS
Neill dan Kurt Halm juga sama-sama dipengaruhi oleh ide-ide progresif zaman itu
(Holdsworth, 1984: 162).

Perkembangan Berpikir Progresif

Periode hingga Perang Dunia Kedua itu tidak sepenuhnya suram
dalam hal pemikiran resmi tentang arah pendidikan dan pedagoginya. Menurut  Fleming ide-ide yang lebih progresif dalam
pendidikan telah berkembang sejak pergantian abad, yang bereaksi terhadap ekses
dari pendekatan pendidikan gaya Victoria yang menghambat kemajuan itu. Pada
tahun 1911, slogan Holmes’ “Apa dan “Apa yang Mungkin” mungkin berbeda sistem
pembelajaran yang berorientasi ketaatan dan mekanistik sebagai ‘jalan realisasi
diri’: hafalan harus memberi jalan untuk pengembangan kreativitas dan
imajinasi.


Ide-ide ini mungkin dipengaruhi oleh karya Finlay-Johnson. Dalam
kalimat pembuka  bukunya, ‘The function
of education is to further growth’ (‘Fungsi pendidikan adalah untuk pertumbuhan
lebih lanjut’) jelas memberi penekanan yang berarti bagi pendekatan progresif. Education Its Data and First Principles (1920)
karya Nunn, jelas dipengaruhi oleh pendekatan eksperimental Caldwell Cook,
mendukung pentingnya pendekatan berbasis pendidikan dengan dasar bermain,
seperti kutipan ini.


Tidaklah mubazir untuk mengatakan bahwa memahami  bermain adalah kunci sebagian besar masalah
praktis pendidikan; Dan  bermain,  dianggap masuk akal sebagai fenomena yang
terutama terjadi pada masa kanak-kanak, menunjukkan impuls kreatif mereka dalam
bentuknya yang paling jelas, paling kuat dan paling khas. (Nunn, 1920: 89)


Kemudian dua publikasi pengajaran bahasa Inggris, Newbolt Report
(HMSO, 1921) dan English for the English
(1921) oleh George Sampson, berpendapat bahwa pendidikan adalah sebuah
bentuk  persiapan untuk ‘kehidupan ‘dan
bukan untuk ‘mata pencaharian’. (education is a form of preparation for ‘life’
and not for ‘livelihoods’.) Pemikiran ini adalah tradisi yang berasal dari
pemikiran Matthew Arnold yang melihat bahasa Inggris, sebagai subjek, sebagai
kekuatan dan melawan efek negatif dari revolusi industri dan menganjurkan seni
liberal lebih terkait dengan fungsional atau utilitas pendidikan.


Selama tahun-tahun 1920-an dan 1930-an serangkaian laporan dari
komite yang diketuai oleh Hadow tidak hanya memperkenalkan perubahan struktural
pada sistem pendidikan (misalnya sekolah yang memisahkan untuk balita dan
yunior, membatasi ukuran kelas maksimum tiga puluh anak-anak), tetapi juga
mengembangkan ide-ide pendidikan.


“The Hadow   Report”  tahun 1923 yang menjelaskan ‘Perbedaan Kurikulum bagi anak laki-laki dan
perempuan di sekolah menengah’
sangat mengesankan karena adanya
‘kesepakatan hampir bulat’ di antara para elemen yang terlibat (termasuk orang
tua mereka) dan pada ‘keinginan mengembangkan aspek estetika pada pendidikan
menengah’ (Board of Education, 1923: 60). Namun hal itu kemudian dikomentari
karena relatif terabaikannya pembelajaran musik, menggambar dan melukis, dan ‘bentuk
lain dari pelatihan estetika’– meskipun ini kurang terlihat di sekolah anak
perempuan — mereka mewarisi apresiasi nilai seni dari tradisi seni dari
perempuan yang lebih senior dan sekolah anak laki-laki dengan beberapa
pengecualian. Pada “Hadow  Report” juga
ada komentar  bahwa ‘sisi estetika banyak
diabaikan’. Pembenaran untuk seni diberikan terutama dalam hal agar (1) dapat
mengembangkan konsentrasi pikiran, (2) akurasi observasi, dan (3) penghargaan
yang tulus terhadap keindahan alam dan (4) pencapaian artistik, dan dalam
merangsang pertumbuhan imajinatif, kritis, dan kreatif fakultas’ (Board of
Education, 1923:61).


Hal ini menunjukkan bahwa keterampilan teknis  pada masa lalu  dianggap sebagai satu-satunya penilaian
keber hasilan pencapaian pembelajaran seni.  Jelas bahwa “Hadow
Report”(1931) memberi penekanan agar murid menjadi aktif bukannya pasif,
menekankan pada pemikiran anak itu sendiri bukan hafalan (yang diberikan oleh
guru). Hal ini menunjukkan bahwa ‘sekolah yang baik, singkatnya, bukan tempat
dimana sistem instruksional itu
diwajibkan, tapi sekolah adalah sebuah komunitas dimana orang tua dan muda,
terlibat dalam pembelajaran yang sifatnya kooperatif (Board of Education, 1931:
xv). Dilihat dari kacamata masa sekarang kurikulum sekolah dasar di Inggris
dapat dikatakan materinya kurang banyak dan lebih menekankan pada kegiatan dan
perluasannya ‘(Board of Education, 1931: xix).


Laporan Spens (Board of Education 1938:171) menegaskan kembali
pandangan yang diungkapkan dalam Hadow Report bahwa sekolah harus menempatkan
pembelajaran estetika lebih menonjol, dan wajib melihat catatan tentang sejarah
tradisi seni liberal pada pendidikan sekolah dasar sebagai tradisi klasik dan
di abad pertengahan:

Seni ini disebut liberal karena mereka awalnya dianggap sebagai
cabang yang sesuai pengetahuan bagi orang bebas sebagai lawan mereka yang
diperdagangkan (orang awam) dan keterampilan
dipraktikkan untuk tujuan ekonomi dengan budak atau orang tanpa hak-hak
politik. (Dewan Pendidikan, 1938: 404)

Catatan: Disamping mempelajari bahasa, filsafat dan matematika, yang diangggap seni liberal atau seni tinggi itu adalah musik klassik, orchestra, tari balet, dan pertunjukan opera, yang dipelajari khusus, akhir-akhir nya juga sains dan berdirinya berbagai lembaga ilmu pengetahuan yang eksklusif.

Namun di sekolah, yang dimaksud seni’ adalah mempelajari selain musik, bukan pelajaran
estetika tetapi termasuk mata pelajaran seperti aritmatika dan tata bahasa.
Pada tahun 1943 pembahasan pelajaran seni dalam Norwood Report (Secondary
School Examination Council, 1943) memiliki bentuk yang lebih kontemporer,
dimana Seni (visual arts), musik dan kerajinan dibahas sebagai sebuah kelompok.
[].
Namun secara umum pandangan ini 
belum mendapat perhatian menyeluruh di sekolah-sekolah saat itu, karena
konsep ini baru saja muncul; oleh karena itu kelompok pelajaran ini diajarkan
di luar
  kurikulum reguler dan diajarkan
sebagai kegiatan
  ‘ekstra’ kurikuler atau
kegiatan waktu luang.

Disamping itu para guru yang tepat untuk mengajar ini belum ada
atau tidak mudah untuk ditemukan; ruang dan peralatan yang diperlukan juga
tidak selalu tersedia; dan mata pelajaran baru ini belum mentradisi dan
diterima secara baik di sekolah-sekolah. (Secondary School Examination Council,
1943:122). Dalam laporan ini juga tercatat 
adanya  alasan lain untuk mengabaikan
mereka. Pelajaran ini sering dianggap hanya sebagai ‘pelengkap  untuk 
mengimbangi atau untuk mata pelajaran lain. Jelas bahwa dari sisi
konsep, telah berhasil diangkat dan diletakkan pada nilai-nilai yang unik dan
khusus dari mereka (pendidikan seni), tetapi dari  laporan Norwood terlihat dalam bentuk yang
berbeda. ‘Selama bahasa, sastra, matematika dan ilmu pengetahuan alam tetap
menjadi  mata pelajaran wajib dari
kurikulum, maka pelajaran seni, musik, dan kerajinan dan sebagainya pasti dapat
dikorbankan demi kepentingan wajib itu (Secondary School Examination Council,
1943: 124).


Namun pada masa itu juga muncul serangkaian buku pegangan yang
semakin merangkul lebih banyak ide inventif dan kreatif. Handbook of Suggestions for Teachers
yang dipublikasikan tahun 1937 dari  Board
of Education (Inggris), jelas dipengaruhi oleh berbagai laporan Hadow yang
mengandung  bagian terpisah yang cukup
panjang –yang menguraikan pelajaran 
musik serta seni rupa  dan
kerajinan. Pelajaran menari dibahas dalam bab tentang pelatihan fisik
(Pendidikan Olah Raga), dan ‘aktivitas drama’ (Teater)  dibahas dalam pembahasan pelajaran Bahasa dan
Sastra Inggris (Bahasa & Sastra). Filosofi yang mendasari
(pemisahan-pemisahan ini)– berasal dari
pandangan seni sebagai modus ekspresif.
Lihat gambar yang menjelaskan
dasar filosofi (dasar ilmu masing-masingnya).






Keterangan: Dari tayangan gambar ini terlihat bahwa walaupun seni rupa dan desain ini kinerjanya mirip, namun dasar ilmunya berlainan, desain itu berakar dari sains dan  teknologi, dan umur desain itu lebih tua dari seni (estetik)’, sedangkan gerak (tari) dasar ilmunya adalah dari pendidikan olahraga, dan teater dasar ilmunya adalah karya sastra (Bahasa dan Sastra). Logis jika pelaksanaan pembelajaan seni di beberapa negara di Eropah hanya memprioritaskan seni rupa (untuk mata) dan musik (untuk telinga)  yang dipelajari di sekolah umum dan lainnya pendidikan di luar sekolah umum. 

Desain itu lebih tua dari seni, sumber http://design-for-india.blogspot.com/http://design-for-india.blogspot.com/

Berbagai seni, yang terutama berkaitan dengan ekspresi dan teknik
yang berbeda dalam bentuk lahiriahnya atau yang berasal dari dari ide-ide dan
pengalaman hasilnya dapat sangat menarik 
bagi seniman. Apa pun yang dia ciptakan atau ditafsirkan, pelaku seni
berusaha untuk mencapai sesuatu yang akan menyebabkan — baik dalam dirinya
maupun orang lain perasaan kepuasan – mirip mungkin dengan apa yang kita alami
dalam tanggapan kita terhadap karya alam – melalui penggunaan desain yang tepat
untuk medium yang dipilih.

Gagasan Ekspresi pada
Pendidikan Olah raga “Fundamental Movement Skill” Kurikulum Pendidikan Dasar
Hongkong


(Contoh pendidikan
seni tari pelajari di bagian Pendidikan Olah raga)
Sesuai
dengan konsep-konsep dan teori Fundamental Movement Skill” di bidang
Pendidikan Olah Raga maka terdapat dua arah 
pengembangan FMS. Yang pertama disebut dengan Ketrampilan Gerak Dasar
untuk Efisiensi (FMS for Efficiency),
dan yang kedua disebut dengan Ketrampilan Gerak Dasar untuk Ekspresi (FMS for Expresion).


Dalam
beberapa kegiatan, keterampilan gerak dasar
 yang digunakan adalah untuk (1) tujuan
penggerak, (2) stabilitas (3) manipulasi. Dalam hal  ini, yang dimaksud efisiensi adalah (1) kecepatan, (2) kekuatan dan (3) penghematan
energi merupakan tujuan utama belajar dan mengembangkannya
 di kemudian hari ke bentuk keterampilan
ketrampilan dasar yang penting. Guru dapat memperdalam pemahaman mereka
tentang apa ketrampilan dasar yang penting itu.

c. Ketrampilan Gerak Dasar untuk Efisiensi          

Gambar Menangkap
Bola Bergulir untuk Efisiensi (Kur. Hongkong, 2012)

d. Ketrampilan
Gerak Dasar untuk Ekspresi

Gambar Contoh Gerak Berirama dengan Objek   (Kur. Hongkong 2007)

Dalam
beberapa kegiatan, keterampilan Gerak Dasar
 dapat 
digunakan untuk mengekspresikan diri. Dalam ketrampilan ini, (1)
imajinasi, (2) estetika dan (3) kesulitan adalah fokus utama pembelajaran,  sebab bagi beberapa sekolah di Asia,
khususnya di Hongkong, peningkatan
bentuk keterampilan gerak dasar
saja tidak cukup, bagi anak-anak. Oleh karena itu harus ada peluang untuk
bereksplorasi, dan  kegiatannya
disediakan. Sebab pribadi dengan ketrampilan kreatif  keterampilan FM harus didorong melalui
kegiatan olah raga
Sumber: Physical
Education Section Curriculum Development Institute Education and Manpower
Bureau, Hongkong (2007)

Demikian juga dalam hal pembelajaran kerajinan, terutama
berkaitan dengan pembuatan hal berguna dengan berbagai bahan, dan teknik
masing-masingnya (Board of Education, 1937: 220).


Menurut  Fleming (2010)
Pembahasan hubungan dan perbedaan antara ‘seni’ dan ‘craft’ menunjukkan
pengaruh pemikiran Robin Collingwood (eg1938) dan menyoroti tema yang membantu
dalam memahami perkembangan ide-ide tentang pendidikan seni di periode ini.  Macdonald (1970: 17) juga telah menunjukkan
bahwa dari sejauh kita akui, sebelumnya seni dianggap sebagai craft dan
keterampilan. Bahkan konsep ‘seni’ sebagai sesuatu yang istimewa dan terpisah
dari kehidupan normal adalah fenomena yang lumayan baru dalam sejarah umat
manusia.


Menurut  Fleming (2010)
makna ‘seni’ telah berubah dari waktu ke waktu. Istilah ‘karya seni’ seperti
kita pakai dapat menjadi ‘membingungkan untuk semua budaya sebelumnya, termasuk
peradaban Yunani dan Roma dan Eropa Barat pada periode tengah’ (Carey, 2005:
7).

Pengakuan bahwa kata ‘seni’ mungkin berarti hal yang sangat
berbeda dari waktu ke waktu dan tempat-tempat 
tertentu. Gombrich (1995: 15) menyatakan bahwa kata “art” dengan huruf A
besar (Art) tidak ada. Benda yang sekarang dihormati sebagai seni di
museum-museum dan galeri secara fungsional dulunya tidak dianggap sebagai seni
seperti itu.


Jenis analisis tertentu telah memberi kontribusi terhadap
terjadinya hal itu,  berbagai pemikiran
yang telah menyebab kan munculnya beberapa teori yang mendukung apa itu seni.
Pandangan ini muncul ketika seni dipandang sebagai ‘bukan sebuah fenomena alam
atau yang universal melainkan lembaga sosio-historis tertentu’ (Shusterman,
2000:3). Pandangan naturalistik ditemukan di beberapa pendukung awal pendidikan
seni, dipengaruhi oleh pemikiran Rousseau dan Dewey, dan hal ini kasus yang
menarik bagi para pendidik seni.


Naturalisme Rousseau dan Dewey, mendefinisikan seni sebagai
sesuatu yang berakar dalam sifat manusia yang menemukan ekspresi dalam setiap
kebudayaan, primitif maupun moderen. Berikut ini seni dianggap  timbul dari kebutuhan dasar manusia yang
alamiah.

“keinginan alami untuk keseimbangan, bentuk, atau ekspresi
bermakna dan semacamnya harus ditingkatkan, pengalaman estetis yang memberikan
makhluk hidup tidak semata kesenangan tapi lebih hidup, rasa tinggi atas hidup.
Menurut konsepsi ini, seni tidak hanya sangat membumi di alam, tetapi juga
berperan dalam kelangsungan hidup dan perkembangan sifat manusia. (
Shusterman 2000:
5)

Penelitian oleh ahli teori evolusi, arkeolog dan sejarawan  budaya memperkuat pandangan naturalistik seni
ini (Turner, Ed 2006.). 
Sejumlah  kata kunci oleh
penulis kemudian mengemuka kan konsep nilai ‘seni dalam pendidikan’ (walaupun
istilah generik itu sendiri jarang digunakan) sejak pergantian abad
  keduapuluh.

The Hadow Report melaporkan pada tahun 1920 tentang pemakaian
kata ‘seni’ dan ‘pelatihan estetika’, sementara publikasi resmi sebelumnya
sering digunakan istilah craft/ketrampilan atau disebut bentuk seni individu.

Menari, menyanyi dan menggambar didorong dalam konteks yang
berbeda tetapi hal ini cenderung untuk diakui lebih sebagai bentuk
craft/ketrampilan saja. Artinya bila seni tidak dilihat sebagai kegiatan waktu
luang, nilai mata pelajaran seni sering terlihat dalam kaitannya dengan nilai
praktis mereka dan kontribusi mereka terhadap pengemba ngan keterampilan murid.

Misalnya Edgworths menganjurkan bagi anak remaja pekerjaan
seperti menggambar, menggunting bentuk, membuat model tanah liat atau lilin
karena hal ini penting sebagai
 
‘tantangan bagi ketangkasan anak’ (Curtis dan Boultwood, 1953: 395).

Dapat disimpulkan bahwa pengaruh intelektual yang berasal dari
penulis pendidikan seni progresif maupun ide-ide mereka mulai memiliki dampak
yang luas dalam periode pasca perang di Eropah, khususnya di Inggris.


Periode Pasca Perang Di Eropa

Menurut  Fleming (2010)
isu-isu kunci dalam pendidikan seni pada masa Pasca Perang adalah berikut ini. (1) 
Penyebaran lanjutan dari ide-ide progresif. (2) andangan baru tentang seni anak sebagai fenomena yang berbeda. (3) Penekanan pada kreativitas sebagian besar dalam hal ekspresi diri.

Menurutnya, rasa optimis mulai muncul setelah perang atau sejak
pergantian abad dan hal ini terlihat
 
dengan menjamurnya beberapa ide pendidikan progresif. Yaitu adanya
perubahan sosial yang lebih luas, adanya campur tangan
  negara bagi kesejahteraan, misalnya
pengenalan biaya kesejahteraan dan asuransi negara (Marr, 2007: 61). Adanya “Festival
of Britain” yang diadakan pada tahun 1951 yang dapat dibayangkan sebagai
imajinasi
  zaman itu  tentang 
adanya ‘sentuhan patriotis’ bagi seni:  

High culture, represented by abstract sculptors, classical
music
, the latest in design, did manage to hold hands, however briefly, with
popular culture, as represented by the cafes selling chips and peas, the
funfair rides, fireworks and Gracie Fields in cabaret. (Marr, 2007: 110).

Pada tahun 1950-an mulai muncul pembelajaran drama pada ‘seni
anak’ namun sebagai entitas yang terpisah dari pembelajaran seni. Hal ini
merupakan puncak dalam pemikiran yang memiliki asal-usul dalam ide-ide
naturalistik Rousseau.


Pergeseran nilai ini bukan dalam hal keterampilan akuisisi
(ketrampilan tambahan) dan lebih kepada pengembangan pribadi. Sebuah kunci
dari pemikiran ini adalah  perubahan
persepsi tentang peran guru seni yang tadinya sebagai  instruktur dalam craft dan teknik berpindah
kepada fasilitator dan ‘friendly guide’ (pembimbing yang ramah). Menurut
Fleming, Adanya non-intervensi  guru ini
menjadi suatu kebajikan dan pusat untuk beberapa ide pendidikan yang lebih umum
saat itu.

Peran guru menurut Slade dan Herbert Read
Slade, P., []
dan Herbert Read
merekomendasikan agar peran guru dikurangi untuk kelas yang lebih rendah
(anak-anak maksudnya). Read berpikir bahwa tantangan utama bagi guru adalah
untuk melestarikan intensitas asli dari reaksi anak dan kualitas pengalaman
sensualnya – untuk warna, permukaan, bentuk dan irama: ‘ini memaksakan
kehendak guru agar dihindari dan ‘benar’ bahwa guru dapat hanya berdiri di
atas mereka dalam hal sebagai 
pelindung-pengagum mereka ‘(Read, 1956: 209). Slade (1954: 131) juga melihat
guru sebagai pemandu yang dihormati, namun lembut, dan menghindari
‘kerewelan, tidak perlu banyak saran’.
Cara ini dapat
menggoda dan dapat diremehkan, bahkan secara ekstrim terlihat sebagai sebuah
pemikiran romantis, terutama jika dalam beberapa bentuk latihan, guru
meninggalkan tanggung jawabnya untuk mengajar (namun konsep mengajar ini
harus ditafsirkan secara halus), mereka bukan sepenuhnya meninggalkan
anak-anak, tetapi demi kepentingan perangkat mereka sendiri.
Guru perlu hadir
demi  kepentingan persepsi dan
pengalaman estetik anak daripada memaksa 
anak secara kasar sebagai bagian dari wawasan pedagogik yang pragmatis.
Serta pandangan bahwa ‘manusia’ harus dididik untuk menjadi ‘apa dia’
(pendekatan pertumbuhan alami) Read juga mengambil pandangan bahwa “apa yang
tidak pendidikan” agar anak untuk menjadi apa secara alami’ (Read 1956: 2).
Sangat mudah untuk
mengecilkan aspek pedagogik, dan pada kutub lain gerakan ekspresi  dianggap memberikan ekses (pengaruh) yang
tidak diragukan lagi bagi beberapa penulis dan praktisi.
                                                                               Fleming, Mike, (2010)


Mengubah Pandangan Tentang Pendidikan  Seni

Periode sesudah perang sering dianalisis dalam hal ‘mengubah
paradigma’ dalam pendekatan pendidikan seni (Abbs: 2003). Analisis ini juga
membantu secara luas, terutama terlalu berlebihan dalam memandang perkembangan
di periode ini dan dalam menjelaskan hubungan konsep ‘kreativitas’ dengan
pendidikan seni.


Salah satu paradigma pembaharuan yang progresif, yaitu pentingnya
ekspresi diri dan kreativitas. Hal ini juga terkait
dengan gerakan modernis dan meninggalkan tradisi. Pendekatan ini tercermin
dalam pengembangan pembelajaran drama, seni rupa dan pendidikan tari meskipun
kurang jelas dalam musik. Dalam drama,  Slade
(1954) melihat ‘Drama Anak-anak’, itu 
muncul saat aktivitas alami anak-anak bermain; peran guru adalah untuk
memelihara dan bukan mengintervensi, dengan penekanan pada bermain drama secara
spontan dan bukan pada melakukan atau bekerja dengan teks (seperti yang
dilakukan di Indonesia, kurikulum 2013). Menurut Slade, kegiatan drama ini
mendorong anak-anak untuk kreatif dalam hal menciptakan dan memamerkan kalimat
yang spontan, walaupun agaknya memberi kesan sedikit  menjadi pembual atau bombastis’. Paradigma
kedua adalah  pendekatan yang lebih
inklusif, dimana terkait dengan menanggapi’ serta ‘menciptakan’, karya seni
yang lebih menekankan pada bentuk, tradisi, dan konvensi.


Menurut Fleming seperti yang ditunjukkan dalam pengenalan,
progresivisme dan gerakan ekspresi diri harus dilihat dalam konteks sejarah dan
tidak dilihat murni dari perspektif kontemporer. Ini adalah tantangan untuk
utilitarian, keyakinan otoriter bisa melahirkan pendekatan yang sangat mekanis
dan sempit di dalam kelas.


Fleming
(2010) menyarankan, bahwa meskipun ekspresi diri merupakan elemen kunci dari
pemikiran Herberd Read, Buku Read ini agaknya lebih proporsional jika pembaca
memperhatikan secara benar apa yang disarankan Read. Pandangannya tentang apa
yang  ‘diapresiasi’ dari ekspresi diri (yang maksudnya
‘respon  orang lain sebagai’ mode
berekspresi ‘) tidak memiliki tempat sama sekali, sebab hal itu kurang tepat
untuk anak muda. Demikian juga tentang apresiasi ‘dapat diragukan dapat
dikembangkan dan  bahwa itu tidak dapat
diharapkan untuk mampu diperlihatkan anak-anak sebelum usia remaja ‘(ibid:
209).



Menurut Fleming, ada juga bahayanya jika tidak hati-hati  mengenal model umum pembelajaran, dan untuk
melihat pandangan yang terdistorsi dari penganjur seni seperti Herbert Read
(1956) dalam bukunya Pendidikan Melalui
Seni
yang pertama kalinya diterbitkan pada tahun 1943. Buku ini banyak
dikutip  dan menjadi buku teks pada pasca
perang, yang berpendapat bahwa ‘seni harus menjadi dasar dari pendidikan’.
Sebaliknya  buku ini dipandang oleh
beberapa komentator lain hanya sebagai simbol paradigma ekspresi diri.


Pertama dengan cara yang sama, Slade (1954) sering dianggap
(telah) anti-teater tetapi sebenarnya banyak karya profesionalnya tentang
teater; ia melihat ketrampilan drama itu hanya sebagai tahap akhir dari
tahapan perkembangan anak dan dengan demikian (jika dituntut sebuah ketrampilan
anak untuk drama) paling tepat hanya untuk anak yang lebih tua.


Kedua Slade dan Read merekomendasikan agar peran guru dikurangi
untuk kelas yang lebih rendah (anak-anak maksudnya). Read berpikir bahwa
tantangan utama bagi guru adalah untuk melestarikan intensitas asli dari reaksi
anak dan kualitas pengalaman sensualnya – untuk warna (color), permukaan
(tekstur), bentuk (form) dan irama (rhitym): ‘pemaksaan kehendak guru agar
dihindari dan ‘benar’ bahwa guru hanya dapat berdiri di atas mereka dalam hal
sebagai  pelindung-pengagum mereka
‘(Read, 1956: 209). Catatan: Coba bandingkan dengan pembelajaran seni
berdasarkan tematik (kurikulum 13) di Indonesia. Jika dilaksanakan apakah
ini  bukan pemaksaan oleh guru yang
dikendalikan oleh pemerintah berdasarkan tema tertentu, kalau tidak bagaimana
caranya?

Slade (1954: 131) juga melihat guru sebagai pemandu yang
dihormati, namun lembut, dan menghindari ‘kerewelan, tidak perlu banyak saran’.


Cara ini dapat menggoda dan diremehkan, bahkan secara ekstrim
terlihat sebagai sebuah pemikiran romantis, terutama jika dalam beberapa bentuk
latihan, guru meninggalkan tanggung jawabnya untuk mengajar (namun konsep
mengajar ini harus ditafsirkan secara halus), guru bukan sepenuhnya
meninggalkan anak-anak, tetapi demi kepentingan perangkat mereka sendiri.


Guru perlu hadir demi 
kepentingan persepsi dan pengalaman estetik anak daripada memaksa  anak secara kasar sebagai bagian dari wawasan
pedagogik yang telah dirumuskan secara ketat. Serta pandangan bahwa ‘manusia’
harus dididik untuk menjadi ‘apa dia’ (pendekatan pertumbuhan alami) Read juga
mengambil pandangan bahwa “apa yang tidak
pendidikan
” agar anak untuk menjadi apa secara alami’ (Read 1956: 2).
Sangat mudah untuk mengecilkan aspek pedagogik, dan pada kutub lain gerakan
ekspresi  dianggap memberikan tanggapan
dan ekses negatif yang tidak diragukan lagi bagi beberapa penulis dan praktisi.


Adanya pembelajaran untuk merestorasi tradisi (paradigma kedua
Abbs’) []
mungkin menjadi cara yang tanpa disadari atau samaran lain bentuk praktik
elitisme pendidikan dan, dalam praktik, akan 
membatasi kreativitas. Menurut Fleming, adalah sebuah tantangan  bagi pendidikan seni, dalam hal bagaimana
menanggapi konsep seni ‘tinggi’ (elit) 
dan seni ‘rendah’ (atau seni yang populer) nampaknya seni tidak dapat
diinformasikan diformulasikan secara sederhana untuk pemulihan tradisi dan
penolakan modernisme (dalam pembelajaran seni).


Paling buruk paradigma ekspresi diri dapat dilihat sebagai
‘abdicating’ [] peran
guru, meninggalkan standar guru dengan menilai atas nama kreativitas anak dan
menolak pentingnya bentuk dan teknik dalam seni. Namun pandangan sebaliknya
bisa sama-sama dikenakan dalam bentuk ekstrim lain yaitu:  (1) otoritas guru, (2) adopsi pendekatan
mekanistik yang ketat oleh guru, (3) kegagalan untuk mengenali pentingnya
melibatkan peserta didik, dan (4) penolakan pertimbangan perkembangan anak
dalam kaitannya dengan pembelajaran seni.


Sebuah pandangan yang lebih positif dari gerakan ekspresi diri
akan mengakui beberapa wawasan pedagogisnya. Dengan melihat posisi-posisi kutub
yang lebih atas hubungan “dialektika” ketimbang hubungan oposisi, pandangan
yang lebih seimbang dan terintegrasi untuk mengenali pentingnya kurikulum seni
untuk menanggapi karya orang lain (selain membuat karya sendiri) dan juga akan
mengakui bahwa pendidikan seni harus terkait dengan pengajaran bentuk dan
teknik. Namun, oleh Fleming, hal itu tidak boleh disangkal bahwa wawasan itu
berasal dari pelopor pendekatan progresif dari pendidikan seni yang terkait
dengan aspek pentingnya pengalaman,
perasaan, keterlibatan, kreativitas dan orisinalitas siswa.

Konsep Ekspresi

Pemikiran Kontemporer mengenai pendidikan seni mungkin telah
memperoleh manfaat dari beberapa tulisan dalam filsafat estetika yang
berkembang versi yang lebih halus dari teori ekspresi. Sebagai contoh,
serangkaian makalah pada 1950-an dan awal 1960-an menantang pandangan ekspresi
diri seni dari Leo Tolstoy, sebagai digembar-gemborkan oleh Tolstoy:


Untuk membangkitkan dalam diri sendiri perasaan seseorang telah
pernah mengalami, dan setelah membangkitkan dalam diri sendiri, kemudian,
dengan cara gerakan, garis, warna, suara, atau bentuk yang diungkapkan dalam
kata-kata, sehingga untuk mengirimkan perasaan bahwa orang lain mungkin
mengalami perasaan yang sama – ini adalah kegiatan seni. Seni adalah aktivitas
manusia yang terdiri dalam hal ini, bahwa satu orang secara sadar dengan cara
tanda-tanda eksternal tertentu, tangan ke perasaan orang lain ia telah hidup
melalui, dan bahwa orang lain yang terinfeksi oleh perasaan itu dan juga pengalaman mereka. (Tolstoy
1994: 51)


Teori Self-ekspresi seni kemudian berkonsentrasi perhatian pada
apa yang dikatakan terjadi di dalam proses
penciptaan
: seniman dikatakan mengungkapkan perasaan batin atau emosi dalam
karya seni (objek). Tentu timbul pertanyaan dapatkah diketahui ciri-ciri ekspresi
itu pada objek seni? Atau apakah memang anak-anak mampu melakukan hal itu?


Suatu analisis tentang bentuk ekspresi diri juga ditemukan dalam
karya Robin Collingwood (1938) yang pengaruhnya jelas dalam beberapa tulisan
penulis pendidikan seni Robert Witkin (1974) era 1970-an dan 1980-an.


Tantangan untuk formulasi ekspresi ini sebenarnya berasal dari
banyak sumber. Hospers (1955) misalnya menunjukkan bahwa asal-usul seni dan
motivasi seniman bervariasi dan tidak selalu terkait dengan ide ‘jenius soliter
terlibat dalam tindakan misterius ekspresi diri’ (1955: 319).  Ryle (1954: 72) merujuk ke ‘kekacauan’ di
pemikiran seperti ini: ‘kita hanya harus menyebutkan emosi seperti kebosanan,
kecemburuan, kegelisahan, iritasi dan kegembiraan, secara keseluruhan adalah
cerita konyol tentang ekspresi seperti itu’.


Makalah Bouwsma (1954) dan beberapa makalah lain koleksi yang
diedit oleh Hospers (1968) juga membahas 
tema ini. Dengan mengkritik salah satu bentuk teori ekspresi, penulis
ini membuka jalan bagi pandangan yang lebih seimbang tentang pentingnya gagasan
ekspresi atau bahkan ekspresi diri dalam berpikir tentang seni.


Metafora (kiasan atau perumpamaan) untuk menuang kan emosi
menjadi sebuah karya seni yang terkandung dalam konsep ekspresi diri
menghasilkan pendekatan yang salah dan tidak seimbang dalam beberapa kasus  pendidikan seni.


Jika diasumsikan bahwa emosi pencipta  merupakan penentu utama kualitas pekerjaan
seni akan menyebabkan ketidakpastian tentang bagaimana menilainya dan kecenderu
ngan munculnya relativisme. Bagi banyak praktisi pengajar seni bisa dikelirukan
dengan  “merangsang emosi murid”
ketimbang melatih murid dalam disiplin tertentu. Namun, jika diutarakan dengan
cara begitu, pilihan tampak nya antara konsepsi yang kaya tentang ekspresi yang
bersemangat dari pendidikan seni dan yang lain adalah  tertuju kepada objekti vis, yang steril dan
dimana emosi siswa dimatikan.


Sebuah pandangan yang bertujuan untuk lebih menyeimbangkan teori
ekspresi yang dikembangkan diantara filsuf estetik  Benedetto Croce (expresivitas estetik),
Susanne Langer (teori simbol), Arnaud Reid dan Ray Elliott mungkin perlu
dihindari polarisasinya’; perlu juga dihindari hal-hal yang dibekukan oleh
beberapa wawasan kunci yang diberikan oleh teori-teori itu. Alih-alih berfokus
pada pencipta karya dalam menjelaskan relevansi emosi untuk proses seni, teori-teori ekspresi yang lebih matang
terkonsentrasi perhatiannya pada objek seni.


Mengantisipasi tanggapan pembaca dan teori post-strukturalis yang
muncul kemudian hari, Elliott (1966), menyarankan bahwa versi berlebihan dari
teori ekspresi diri telah mengaburkan wawasan yang lebih signifikan tentang
ini, bahwa ekspresi diri sebenarnya sebaliknya yaitu “respon terhadap seni” dan meragukan cukupnya argumen dari teori
objectivis eksklusif.


 Para ahli teori ekspresi mengakui bahwa puisi dapat
dirasakan bukan hanya sebagai objek pendukung makna impersonal, atau
seolah-olah itu adalah pidato atau pikiran orang lain tetapi puisi
memungkinkan  kita untuk merangsang
ungkapan lain pada diri kita sendiri. Sebuah karya mungkin dialami ‘dari dalam’
atau ‘dari luar. (Elliott, 1966: 146).


Tengara (signal) terpenting dalam periode pasca perang menurut
Fleming adalah Plowden Report (Central Advisory Council for Education, 1967).
Laporan ini sering dikritik sebagai teks kunci yang dipromosikan dan sebagai
ekses “pembelajaran berpusat ke anak”, sebagai bagian dari ide-ide pendidikan
progresif (Peters, 1969). Laporan ini mungkin kurang dihargai karena kurang
bermakna seperti kaitannya ke faktor-faktor penentu sosial dan keberhasilan
pendidikan, serta prioritas pendidikan. Namun hal ini juga diakui pentingnya
untuk memperluas konsep dan prinsip pendidi kan, pentingnya partisipasi orang
tua, serta menginformasikan perdebatan tentang 
penggunaan tes IQ.


Laporan ini terlihat antusias tapi tidak canggih dalam pembenaran
atau alasan untuk kepedulian pengajaran seni. Namun Seni visual (disamping
bahasa) adalah bentuk kedua dari sarana komunikasi dan ekspresi perasaan yang
seharus nya dapat di serap seluruh kurikulum dan seluruh kehidupan sekolah.


Laporan Plowden kadang-kadang dikritik karena mempromosi kan
konsep ekspresi diri yang tidak terkendali tapi, tidak seperti yang
dibayangkan, sebab ada pengawasan dan dokumen yang menunjukkan perspektif yang
lebih seim bang. (Untuk ringkasan kritik dari laporan Plowden melihat Gillard,
2004; Pollard ed, 1987;. Wilkinson, 1987).


Untuk pembelajaran seni drama juga ada kritik, terutama yang
berbahasa Inggris, karena kinerjanya dipertanyakan, sebab drama anak sekolah
hanya di tonton oleh beberapa anak-anak atau orang tua mereka. Anehnya di
Inggris seni Tari diakui dan dipromosikan masuk kedalam jurusan pendidikan
jasmani (olah raga)


Selanjutnya, pengaruh laporan Plowden pada pengajaran seni itu
juga kurang bermakna meskipun berdampak pada pengajaran seni rupa di sekolah
dasar, pengaruh yang lebih besar selama periode ini datang dari para pendukung
bentuk seni tertentu (Sedgewick, 1993: 133). Di tahun 1970-an, Ross (1989) juga
memperlihatkan hal yang sama ketika pendidikan seni secara keseluruhan di
kritik. Selanjutnya, ini terjadi dalam konteks meningkatkan minat masyarakat
dalam efektivitas penyediaan pendidikan lebih umum.


Beralihnya Perhatian dari Konsep Ekspresi Ke Konsep Kreativitas

Pidato Ruskin James
Callaghan pada tahun 1976 telah meluncurkan ‘Great Debate’ dalam Pendidikan,
membuka jalan bagi reformasi kemudian dan meningkatkan  sentralisasi pendidikan. Polarisasi antara
menumbuhkan kreativitas dan mengabaikan dasar-dasarnya secara implisit dalam
bagian penting dari pidatonya. Seperti yang dapat di catat.

First let me say, so that there should be no misunderstanding,
that I have been very impressed in the schools I have visited by the enthusiasm
and dedication of the teaching profession, by the variety of courses that are
offered in our comprehensive schools, especially in arts and crafts as well as
other subjects and by the alertness and keenness of many of its pupils.
Clearly, life at school is far more full and creative than it was many years
ago… But I am concerned on my journeys to find complaints from industry that
new recruits from the schools sometimes do not have the basic tools to do the
job that is required. (Callaghan, 1976)

Menurut Callaghan, kehidupan di sekolah jauh lebih penuh dan
kreatif daripada tahun-tahun sebelumnya tetapi dia kawatir setelah dilihatnya
bahwa kebutuhan industri dan apa yang dipelajari di sekolah tidak ada
hubungannya dengan industri, dimana lulusan sekolah kadang-kadang tidak memi
liki alat dasar untuk bekerja sesuai dengan yang dibutuhkan. (Callaghan, 1976)


Pendekatan ini mendukung pengenalan kurikulum nasional pada akhir
tahun 1980an. Ini juga mempromosikan penekanan yang lebih besar pada hubungan
antara pendidi kan dan pelatihan kejuruan, mengenai standar pencapaian nasional
dan kebutuhan untuk lebih eksplisit mengenai tujuan. Pidato tersebut merupakan
karakteristik dari sebagian besar penulisan resmi periode berikutnya; Seni
tidak pernah dikritik atau diabaikan secara langsung dalam teori namun
signifikansi mereka secara implisit diturunkan. Perkembangan kebijakan lainnya
berdampak pada praktik pada prioritas yang diberikan pada seni.


Seni Sebagai Pengalaman Estetis

Banyak dokumen kurikulum yang ditulis pada periode sebelum
pengenalan kurikulum nasional dipengaruhi oleh filsafat pendidikan. Hirst
(1974) dalam analisis filosofis tentang ‘Pendidikan Liberal dan Sifat alami
Knowledge’nya (Liberal Education and the Nature of Knowledge’) telah
didefinisikan terdiri dari tujuh ‘disiplin’ atau ‘bentuk pengetahuan’ yang masing-masing
memiliki konsep sentral yang aneh dan dengan bentuk dan struktur logika
tertentu yang berbeda.


Pendidikan liberal bertujuan untuk mencapai pemaha man tentang
pengalaman dalam berbagai cara, itu berpendapat oleh karena itu silabus harus
dibangun untuk memasukkan berbagai disiplin ilmu (termasuk sastra dan
matematik). Teori Hirst telah dikritik dan kemudian direvisi (Pring, 1976;
Smith, 1981: Hirst 1993) tapi pengaruhnya jelas dalam banyak dokumen resmi
periode ini. Dimasukkannya ‘sastra dan seni rupa’ sebagai bentuk yang berbeda
dari pengetahuan atau bidang pengalaman (istilah sering disukai dalam laporan
kurang filosofis) memastikan bahwa seni rupa tidak sepenuhnya diabaikan.
Analisis kadang-kadang mengam bil bentuk yang berbeda. Publikasi HMI A View of Curriculum yang diterbitkan
pada tahun 1980 meng identifikasi ‘estetika dan kreasi’ sebagai wilayah kunci
dari pengalaman estetis  (Department of
Education and Science, 1980). Terminologi ini dilanjutkan dalam publikasi
Kurikulum DES 1985, (5 -16):


Area ini berkaitan dengan kapasitas untuk merespon
 emosional dan secara intelektual untuk pengalaman indrawi; kesadaran
tingkat  kualitas; dan apresiasi
keindahan dan kebugaran untuk mereview tujuannya. Ini melibatkan eksplorasi dan
pemahaman tentang perasaan dan proses pembuatan, menyusun dan menciptakan.
Pengalaman estetis dan kreatif dapat terjadi kunci setiap bagian dari
kurikulum, tetapi beberapa mata pelajaran berkontribusi terutama untuk
mengangkat kesadaran estetika murid dan pemahaman karena mereka meminta
tanggapan pribadi, imajinatif, afektif dan sering praktis, dari pengalaman
sensorik. (des, 1985: 17)


Implikasi utama dari bentuk pendekatan Hirst adalah bahwa
deskripsi kurikulum cenderung lebih fokus pada ‘pengalaman estetis dan kreatif’
daripada seni rupa dalam pendidikan. Meskipun semua dokumen kurikulum yang meng
arah ke kurikulum nasional mengakui nilai estetika, ada perasaan kuat bahwa
seni rupa perlahan-lahan sedang terpinggirkan.


Laporan Gulbenkian awalnya diterbitkan pada tahun 1982 tetapi itu
adalah pengantar untuk edisi kedua tahun 1989 yang memberikan perspektif yang
lebih jelas pada konteks sosial dan politik dan kekhawatiran tentang penentuan
seni yang dominan (Robinson, 1982; 1989). Dia berpendapat bahwa pemahaman
tentang seni selalu berisiko dan berasal dari dari dua kesalahpahaman
(Robinson, 1989).

Pertama, mereka yang berpendapat bahwa peran utama pendidikan
adalah untuk mempersiapkan orang muda
untuk bekerja,
pendidikan seni jelas tampaknya tidak bukan untuk mereka
yang mencari pekerjaan seni.


Kedua, melalui penekanan di beberapa pengajaran pada kreativitas,
ekspresi diri dan pengembangan pribadi, seni telah menjadi terkait dengan
kegiatan non-intelektual, dan karena itu tampaknya berada di luar prioritas
mereka yang berpenda pat untuk kembali ke nilai-nilai akademik ‘tradisio nal’
‘(Robinson, 1989: xii).


Berikut kemudian adalah pengakuan implisit dari dua polaritas:
kontras antara pandangan utilitarian dan liberal yang muncul pada periode
pra-perang dan dianggap akan meningkat lagi; dan kedua, perbedaan antara
ekspresi diri dan tradisi yang menghambat pembentukan konsepsi yang lebih
terintegrasi dari nilai seni. Laporan itu sendiri mengidentifikasi enam bidang
utama yang terkait dengan pembenaran seni dalam kurikulum:

  1. mengembangkan
    berbag
    ai kecerdasan manusia (berbeda dengan studi akademis dan pemikiran logika-deduktif; 
  2. pemikiran kreatif dan tindakan (untuk adaptasi); 
  3. pendidikan perasaan dan kepekaan; 
  4. eksplorasi nilai-nilai; 
  5. memahami perubahan dan perbedaan budaya; 
  6.  mengembangkan keterampilan fisik dan persepsi.

Bentuk Kurikulum Seni Nasional di Inggris

Menurut Ross (1989: 17), seni umumnya berada di bawah tekanan
politik yang merugikan pendidikan di Inggris dan Eropa oleh karena itu terpaksa
di advokasi. Tulisan dalam periode ini cukup produktif, ditopang para oleh
penulis seni individual.  Publikasi oleh
penulis seperti David Best, Rod Taylor, Peter Brinson, Charles Plummeridge,
Glennis Andrews dan Rod Taylor, Robert Watson dan David Hornbrook, terus
menerus berdebat tentang tujuan pokok permasalahan pendidikan seni apakah untuk
tujuan seni individual dan tujuan seni generik yang berpengaruh kepada
penyusunan kurikulum saat itu. Perbedaan antara ‘estetika’ dan ‘artistik’ juga
diangkat, khususnya tentang sifat khas dari pendidikan seni. Pertanyaan apakah
seni harus dipahami sebagai kelompok generik memiliki implikasi untuk pilihan
mata pelajaran seni yang harus ditawarkan kepada murid.


Sekarang timbul pertanyaan apakah masuk akal untuk mengelompokkan
seni secara bersama-sama? telah lama diperdebatkan. Namun yang penting adalah
bukan kategorisasi sendiri namun konsekuensi dari melihat seni dengan cara
tertentu. Sebuah konsep generik seni bisa berbahaya jika itu mengarah pada
kesimpulan bahwa pengalaman satu bentuk seni dianggap cukup untuk dihitung
sebagai pendidikan yang berarti dalam semua seni. Hal ini penting untuk
mengenali karakteristik yang berbeda dari bentuk-bentuk seni yang berbeda.
Namun, hal ini juga membantu untuk mengakui bahwa seni memiliki kemiripan
seagai sebuah keluarga seni.


Perubahan utama dari penekanan dapat dilihat dari laporan
Gulbenkian sebelumnya, di mana seni dipandang sebagai cara penting untuk
penyeimbang antara pikiran atau kemampuan akademik dan kemampuan afeksi:
‘Anak-anak dan orang muda umumnya membutuhkan seni.


Seni menawarkan beberapa kepentingan yang tidak diperoleh dari
rasionalitas misalnya: intuisi, kreativitas, kepekaan dan keterampilan praktis
(Robinson, 1989: 5). Sebaliknya, maksud dari laporan NACCCE (1999) lain lagi
adalah untuk memajukan pentingnya kreativitas
di seluruh kurikulum, tidak hanya dalam seni.


Beberapa komentator terus menjadi pesimis tentang tempat seni
dalam kurikulum selama sekolah didorong oleh sistem pengujian dan
akuntabilitas, pandangan lazim di sejumlah negara (Sharp dan LeMetais, 2000:
5).


Namun, sejak terbitnya pandangan pentingnya kreatifitas pada
pengambil kebijakan pendidikan di Eropah, mendorong perkembangan pemikiran baik
secara langsung mau tidak langsung difokuskan pada seni dalam pendidikan. Atau
inisiatif yang telah berdampak pada perhatian dan sikap pada seni yang berubah.
Diantaranya dengan membentuk badan yang disebut dengan Creativity, Culture and
Education (CCE). 

Kelahiran CEE (Creativity, Culture and Education)

(CCE) adalah sebuah yayasan internasional yang berbasis di
Inggris yang didedikasikan untuk mengembangkan kreativitas anak-anak dan
remaja di dalam dan di luar pendidikan formal. Hal ini dilakukan terutama
melalui perancangan dan penerapan program yang meningkatkan kualitas dan
jangkauan pendidikan budaya, dan menggunakan budaya dan seni untuk meningkatkan
kualitas dan dampak pendidikan umum, bekerja dengan mitra dari seluruh dunia.
[]
Pemrakarsa CEE adalah Paul Collard telah memiliki pengalaman
lebih dari 30 tahun bekerja di bidang seni. Dia adalah seorang ahli dalam
memberikan program yang menggunakan kreativitas dan budaya sebagai penggerak
perubahan sosial dan ekonomi dan dalam menggunakan seni dan budaya dalam
regenerasi perkotaan. []
Pada 2015, ia ditunjuk sebagai Profesor Kehormatan di Universitas Nottingham,
School of Education. [] []


Inisiatif Kemitraan Kreatif, itu sendiri bertujuan untuk
mengembangkan kreativitas dan imajinasi anak-anak.


Blackstone (2002) menggambarkan berbagai inisiatif lainnya dari
pemerintah, seperti program Artsmark dan meningkatkan pendanaan untuk berbagai
inisiatif terkait dengan penyediaan musik.

Sebuah pernyataan di situs DCMS daftar perkembangan lebih lanjut
sebagai respon terhadap perhatian terhadap seni, termasuk: pedoman tentang
perkembangan kreatif anak-anak pra-sekolah, meningkatnya jumlah perguruan tinggi
seni spesialis, dan lebih banyak fleksibilitas dalam kurikulum nasional.


Elemen kunci dalam inisiatif Kemitraan Kreatif, sebagai judul
proyek menunjukkan, penekanan pada ‘kemitraan’ dan itu adalah salah satu bahan
saat kunci dalam mengembangkan pendekatan yang efektif untuk seni di
sekolah-sekolah. Ada inisiatif sangat menggembirakan terjadi di tingkat lokal.
Salah satu contoh adalah The Forge,
didanai oleh Dewan Kesenian dan otoritas lokal Durham dan Sunderland, sebuah
organisasi yang mengkhususkan diri dalam pengembangan partisipatif
proyek-proyek seni berkualitas tinggi, disana bekerja orang-orang muda, seniman
dan pendidik.

Dalam gambaran singkat dari sejarah pendidikan seni terdapat
serangkaian polaritas dapat dilihat yang berfungsi untuk menyoroti pendekatan
yang berbeda untuk masuknya seni dalam kurikulum. Pertentangan ini adalah
konsep kunci dalam memahami perkembangan pemikiran tentang pendidikan seni dan
juga memberikan wawasan tentang pengertian kreativitas.


Gambar 1.1. Bagan Perkembangan Konsep Seni untuk Pendidikan Seni di Inggris, oleh penulis (2018)

Apa yang harus dipelajari dari seni ?

Menurut  Fleming, Mike,
(2010),  sebenarnya faktor kunci dalam
memilih mata pelajaran seni di berbagai negara tentu saja pedoman dari
kurikulum nasional.  Namun demikian
dalam pelaksanaannya tidak selalu mudah atau — ini adalah pilihan tidak
mudah— sebab seni drama tertanam dalam pelajaran bahasa (terutama  dalam sastra bahasa Inggris) ; seni (visual
arts)  terbagi pula dalam bidang atau
disebut sebagai  ‘seni dan desain’
tetapi desain juga muncul dalam kelompok ilmu teknologi; seni tari muncul
dalam pendidikan jasmani (olah raga). 

Fleming, Mike, (2010),
Arts in education and creativity: a literature review

Dalam periode pra perang, ada ketegangan antara utilitarianisme dan liberalisme. Pendekatan fungsional untuk pendidikan mempengaruhi
cara beberapa mata pelajaran seni dibenarkan, dengan penekanan sering di
perolehan keterampilan umum seperti ketrampilan manual. Konsep seni dan
kerajinan yang sering digunakan secara sinonim. Pengaruh pemikiran progresif
dalam pendidikan melihat lebih ditekankan pada anak sebagai lawan subjek
disiplin, menciptakan daripada apresiasi, dan merasa bukan kognisi. Pembenaran
untuk seni terlihat sebagian besar dalam hal pertumbuhan pribadi dan
pengembangan emosional.


Para pendukung seni yang memprioritaskan ekspresi diri lebih
peduli dengan pertumbuhan individu daripada aspek budaya komunal, budaya dan
sosial dari seni. Nilai tradisi menyebabkan pemikiran kurikulum akan berbasis
pada nilai warisan budaya yang dan hal ini bertentangan dengan tempat dan nilai
konsepsi seni modernis.


Seperti yang ditunjukkan, beberapa komentator kemudian, ketika
menulis tentang perkembangan sebelumnya, membesar-besarkan perbedaan yang
terkandung dalam konsep-konsep yang bertentangan. Dalam beberapa hal ini adalah
konsekuensi tak terelakkan dari bahasa cara sendiri bisa menipu.

Pandangan representasional dan esensialis makna cenderung
kebekuan berpikir dan menyebabkan asumsi terpolarisasi. Sebuah pandangan yang
lebih dinamis bahasa dan makna membuka jalan untuk lebih banyak berpikir yang
berusaha untuk mengintegrasikan elemen-elemen yang bertentangan. Ironisnya itu
Herbert Read, sering berpikir untuk mewujudkan versi ekstrim dari teori
ekspresi diri, yang menganjurkan sintesis seperti kutipan di bawah ini:


Akhir yang kita inginkan dapat disebut sintesis. Pertentangan
kami adalah bahwa dasar dari semua kekuatan intelektual dan moral terletak pada
integrasi yang memadai dari indra
perseptif
dan dunia eksternal,
dari pribadi dan organik, dan integrasi yang hanya akan dicapai oleh metode
pendidikan. (Read, 1956: 220).  


Masalah ini apakah masuk akal untuk mengelompokkan seni secara
bersama-sama yang telah lama diperdebatkan. Namun yang penting adalah bukan
kategorisasi sendiri namun konsekuensi dari melihat seni dengan cara tertentu.


Sebuah konsep generik seni bisa berbahaya jika itu mengarah pada
kesimpulan bahwa pengalaman satu bentuk seni dianggap cukup untuk dihitung
sebagai pendidikan yang berarti dalam semua seni. Hal ini penting untuk
mengenali karakteristik yang berbeda dari bentuk-bentuk seni yang berbeda.
Namun, hal ini juga membantu untuk mengakui bahwa seni ada dalam sebuah
keluarga yang mirip.

Getting Info...
Cookie Consent
We serve cookies on this site to analyze traffic, remember your preferences, and optimize your experience.
Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.