Nasbahry Gallery: Pameran Lukisan: Perjalanan Seni Syahrial


Oleh Nasbahry Couto

Rabu
tanggal 10 Mei 2017, penulis diundang untuk menghadiri pameran lukisan Syahrial
(Yayan ) di galeri Taman Budaya Padang. Pameran ini dilanjutkan dengan diskusi hari
ini kamis jam 14.00 siang di tempat yang sama. Pada pameran ini penulis diminta
untuk membahas lukisan Syahrial itu. Alasan penulis untuk memuat tulisan ini di
blog ini karena tulisan di katalog pameran ini sangat kecil dan tak terbaca. Mudah-mudahan
tulisan ini dapat terbaca, dan pembaca dapat mengapresiasi dan memahami bagaimana
permasalahan dan konteks seni pelukis ini.

 

Pelukis Syahrial adalah putra kedua dari bapak Suardi (alm.),
pegawai Bupati Kab.50 Kota, Sumbar. Ibunya Zainap adalah pensiunan Kantor Pos
Kodya Payakumbuh. Jadi kedua orang tua dan latar belakang kehidupan “Yayan” (nama
kecilnya), adalah lingkungan pegawai negeri sipil (PNS). Kedua orang tua ini memiliki
anak empat orang, dimana yang tertua (laki-laki) mengikuti jejak ibunya sebagai
pegawai pos, dan anak ketiga pasangan Suardi(alm)  ini adalah perempuan yang bekerja di Puskesmas.
Sedangkan yang bungsu, laki-laki adalah alumni jurusan pendidikan olahraga. Dengan
latar belakang PNS seperti itu, kedua orang tua Syahrial, setidaknya  mengharapkan anaknya menjadi PNS pula, atau
paling tidak menjadi guru, seperti yang akan di jelaskan nantinya, dimana Yayan
setelah tiga tahun studi di ISI Yogya, pada tahun 1995 akhirnya (terpaksa) pindah
ke jurusan Seni Rupa IKIP Padang. Namun ternyata nasib berkata lain, justru
Syahrial memilih profesi menjadi seniman, khususnya seni lukis. Profesi ini
digelutinya secara konsisten sampai sekarang. Sebagai tambahan, sekitar tahun
2011, Syahrial mengawini gadis kerinci bernama Gayarti yang berprofesi sebagai
guru, berputra dua orang, dimana yang paling besar baru berusia  sekitar 5 tahun, dan yang kedua usianya tiga
tahun.

Bakat Seni Masa Kecil

Latar belakang keluarga PNS — khususnya ibu dan kakaknya
yang bekerja di kantor pos — tentu akan menimbulkan pertanyaan, faktor apa
yang mendorong Syahrial menggeluti profesi pelukis ini, dan bagaimana latar
belakang pemikirannya dalam seni lukis. Dapat diramalkan bahwa  jejak-jejak 
ingatan atas benda pos, tulisan-tulisan tangan (skrip) dan lingkungan masa
kecil seniman ini akan  terlihat kembali
pada karya-karyanya. Secara akademis, posisi 
kritikus atau kurator seni memang   bukan hanya menafsirkan karya semata dari apa
yang tampak pada lukisan. Tetapi ada juga keharusan  melacak 
faktor lingkungan dan biografi 
seniman, yang kadang  bisa erat
kaitannya dengan karya-karyanya. Dan catatan biografi ini  jarang mengemuka dalam
pembahasan karya seni di
sebuah pameran seni lukis

.              

Syahrial yang
kelahiran
tahun 1973, menurut ceritanya dari kecil sudah menyenangi
benda-benda apa saja. Dan
termasuk objek bentuk binatang
 yang dianggapnya bagus dan indah
bentuknya. Misalnya pada masa kecil dia pernah bersama-sama  menangkap dan mengumpulkan ikan di kali.
Setelah ikan terkumpul, Yayan justru tidak menuntut haknya dari banyaknya
jumlah ikan sebagai bagiannya. Tetapi dia menuntut ikan-ikan yang dianggapnya paling
bagus sebagai miliknya walaupun jumlahnya sedikit namun dia sudah puas.
Kecendrungan yang sama juga terlihat dari kegemarannya untuk mengumpulkan
benda-benda kecil yang dianggapnya bagus sebagai koleksi pribadinya, tentu saja
dalam hal ini dapat dipastikan untuk mengumpulkan perangko.

Dari kesenangan seperti ini, maka mulailah dia menciptakan
bentuk-bentuk artistik sendiri sesuai kehendak hatinya. Misalnya melalui
kegiatan menggambar. Menggambar dengan pensil, kertas dan atau alat-alat lain.
Menggambar pada baju-baju yang dipakainya untuk menimbulkan kesan artistik
merupakan keasikan tersendiri pada masa kecilnya. Hal yang sama berlangsung
terus sampai saatnya dia masuk Sekolah Dasar tahun 1980. Kemudian pada tahun
1983, dia masuk ke dalam kegiatan “ Sanggar Gonjong limo”, dimana dalam sanggar
yang katanya dipimpin oleh “Uda Jon” ini, dia mulai mengenal menggambar dengan
media kertas tebal dan pensil krayon. Saat itu kegiatan menggambar di sanggar sering
dimulai dengan membawa contoh gambar yang akan dilukis.

Demikianlah Syahrial/Yayan sebenarnya hidup diantara
peralihan kampung dan kota (semi urban).Yaitu suatu daerah  yang disebut 
“Limbukan”  sebuah desa sebelum
masuk kota Payakumbuh sebelah kanan dari arah kota Bukittinggi. Tentu saja di
samping pengaruh lingkungan keluarga  PNS
dan pegawai pos,  lingkungan  daerah Limbukan seperti ini banyak
pengaruhnya terhadap visinya sebagai seniman — yang mengendap semasa kecil di
dalam alam bawah sadarnya — misalnya suasana hati yang  dipengaruhi oleh kesunyian alam pemandangan dan
perbukitan seperti yang  terpantul dari banyak
lukisan-lukisan terakhirnya. Salah satu ciri yang akan dijelaskan kemudian pada
pembahasan seni  lukis Syahrial.
Demikianlah dia hidup  dan besar di
lingkungan   seperti  ini hal ini dijalaninya sampai tamat  SMP tahun 1988.

Periode SMSR Padang (1989-1993)

Pada tahun 1989 dia pindah ke kota Padang. Karena tertarik
kepada seni lukis maka dia masuk  ke
Sekolah Menengah Seni Rupa /SMSR, dan itu dijalaninya sampai tahun 1989. Di
sekolah ini dia mulai mengenal seni rupa yang agak lebih luas dan ajang  pagelaran/pameran seni  yang tidak terbatas pada lingkungan sekolah.
Tetapi juga pada cakupan yang agak lebih luas seperti Taman Budaya, IKIP Padang
dan sebagainya. Pada saat sekarang sekolah ini disebut dengan SMK-4 (Sekolah
Menengah Ketrampilan IV).  Mungkin karena
dorongan teman-temannya di SMSR maka setelah tamat tahun 1993 di sekolah ini
dia berangkat ke Jogyakarta untuk menyambung pendidikan ke ISI, khususnya
jurusan seni patung, di jurusan ini dia hanya bertahan sebentar, kemudian
pindah lagi ke jurusan seni lukis.

Periode ISI Yogyakarta (1993-1995)

Di Yogya dia mengenal pergaulan yang agak longgar dan luas dibandingkan
dengan dengan di kota Padang, dia banyak bergaul dengan seniman-seniman Yogya,
dan mengenal lebih jauh lagi tentang apresisasi lukisan dan kehidupan sanggar.
Jadi di kota Yogya ini dia melihat bahwa seni lukis dapat menjanjikan  sebagai jalan hidup, apalagi di kota ini
banyak menyimpan pelukis-pelukis kaya-raya. 

Di ISI Yogyakarta mulai dia mengenal pelukis-pelukis bertaraf
nasional, termasuk dosen ISI dan sekaligus pelukis, yaitu Fadjar Sidik. Dia
tertarik dengan  gaya melukis Fadjar
Sidik yang menghasilkan karya
seni liwat
komposisi
elemen-elemen
bentuk,
tekstur
dan warna di atas kanvas untuk mencipta seni lukisnya. 
Tujuan (goal) melukis ini menurut
Syahrial sejalan dengan tujuan
pelukis Belanda Piet Modrian, yaitu mengembalikan fungsi kanvas sebagai
bidang datar.

Teknik Abstraksi pelukis Piet Mondrian, beberapa tahap abstraksi bentuk, dalam mengambil intisari bentuk pohon. Lukisan-lukisan Piet Mondrian dari 1910-1915) Sumberhttp://visualheritageblognasbahry.blogspot.co.id/2012/05/diskusi-dan-apresiasi-hasil-belajar.html

Namun
pelukis Mondrian dan Sadjar Sidik, sangat berbeda dalam hal, gaya, konsep dan
teknik seni.
Fadjar Sidik memang menggambarkan bentuk-bentuk yang disusunnya
diatas bidang kanvas–tidak lagi berasosiasi dengan objek representatif–
melainkan membentuk objek dan komposisi baru di atas kanvas yang oleh receiver (pengamat) bisa menjadi ajang multi
tafsir. Sebaliknya teknik
melukis Mondrian,  tidak perlu penafsiran
sebab dia  hanya mentransformasikan  bentuk alam
ke bentuk geometris vertikal dan
horizontal.
Seperti juga kecendrungan para pelukis modern mashab Bandung
dan Yogya  tahun  70-an. Bahwa pelukis ini mengimitasi alam
untuk tujuan estetiknya tetapi untuk menstilasikannya bentuk-bentuk di alam,
sampai ditemukan intisari warna dan bentuk dasarnya. Hal ini dapat disebut transformasi bentuk.
Kelebihan seni lukis abstrak adalah dari segi keragaman
penafsirannya dan bisa diamati dan  terlihat
dalam sudut pandang yang selalu baru. Memang ciri dari seni modern adalah
karya-karya yang selalu mencari kebaruan dalam segi  gaya, tema dan teknik
seni. B
erbeda dengan seni posmoderen, dia bertentangan dengan  moderen melalui tema seni karena kembali ke
tema-tema lokal, dan bukan berarti tidak baru dalam gaya dan teknik seni.
Munculnya
seni pinggiran dengan
tema-tema
lokal dan tradisional dapat dilihat sebagai gejala-gejala
posmo, tetapi dia memiliki
kebaruan dalam gaya dan teknik seni
. Justru dengan tema-tema yang berakar pada tradisi lokal, mencari gaya
dan teknik-teknik baru.
Demikian juga pemahaman Syahrial tentang  pelukis
Fadjar Sidik, memang hanya sebatas seni lukis abstrak dua dimensi  yang bukan lagi menggambar alam. Hal yang mungkin
kurang tercatat dan terpahami adalah cara pelukis di zaman ini dalam menggarap seni
“abstrak secara liris”. Dimana pelukis  menciptakan bentuk baru melalui komposisinya
dengan sikap seorang penyair dengan medium warna dan bentuk, bukan dengan
tulisan. Disebut liris (istilah kritikus Sanento Yuliman, alm.,) sebab seniman
seakan ingin berpuisi dengan lukisan abstraknya.  

Periode IKIP Padang dan Sanggar Belanak (1995-2004)

Di Yogya  atau ISI
Yogya dia hanya bertahan 2 tahun. Setelah tahun 1994, mungkin sesuatu hal yang
terjadi dalam keluarganya, maka dia terpaksa pindah kembali ke kota Padang, dan
dia   masuk ke jurusan Pendidikan
seni  rupa IKIP Padang (sekarang  Universitas Negeri Padang), pada tahun 1995 dengan
status mahasiswa transfer. Mungkin orang tuanya ingin agar anaknya menjadi guru
seni rupa. Justru kuliah di IKIP Padang ini dia mengalami banyak kendala. Hal
ini terlihat dari penyesuaian diri dengan dosen dan cara belajar yang tidak
tepat waktu. Hal ini juga terlihat dari selang dua kali istirahat kuliah,
mungkin karena sakit atau hal lain yang menjadi kendalanya.


Anehnya, justru pada masa-masa kuliah di Padang ini, dia
sempat mendirikan sanggar seni rupa bersama teman-temannya yaitu “Sanggar Belanak”. Mungkin juga, sebaliknya justru karena kegiatan pameran
dan sanggar ini mengganggu perkuliahannya. Dalam wawancara hal ini tidak banyak
diungkapkannya.  Diantara teman-teman
pendiri sanggar Belanak adalah Irwandi, Syahrizal, Firdaus, Iswandi, M. Ridwan dan
lainnya yang tidak disebutkan satu persatu.


Menurut pengakuannya, sanggar belanak memang banyak
dipengaruhi oleh gaya seni yang ada di Yogya saat itu. Hal ini bisa terjadi
karena komunikasi antar sanggar-sanggar seni  di kota Yogya dan kota Padang, dan juga  melalui media internet. Sebagai orang yang
pernah berdomisili di Yogya, syahrial tentu tidak sulit  berkomunikasi dengan sanggar-sanggar yang ada
di Yogyakarta. Di sanggar dapat dilakukan berbagai  kegiatan kreatif seperti melukis atau
diskusi. Hal yang menonjol terutama eksperimen teman-temannya dengan gaya
surealisme Yogya, dimana hal sama juga dianut oleh beberapa gurunya di SMSR
dulu, tentu saja dengan gaya dan tema surealistik lokal atau budaya Minang
khususnya.


Di sanggar Belanak tidak ada ikatan yang pasti, sebab
anggota-anggotanya bisa datang dan pergi. Dia sendiri juga mengakui bahwa  pengalamannya melukis bukan hanya dari
kegiatan  berseni di Yogya. Ada juga  sedikit pengaruh yang berasal dari dosen-dosen
seni rupa IKIP Padang. Misalnya saat mengerjakan Tugas Akhir dengan pembimbing
Jupriani saat itu. Yang lain  misalnya
saat dia mempelajari seni grafis untuk tujuan seni. Saat itu dia melihat
kemungkinan penggunaan huruf  latin
sebagai medium seni. Walaupun pada masa akhir studi seni secara formal di
Padang  dianggapnya tidak banyak
berpengaruh, karena kapasitas diskusi dan pembelajaran seninya kurang
terperhatikan; gagasan pokok seni lukis dengan menggunakan skrip (tulisan)  bukanlah sesuatu yang baru, seperti yang
dilihatnya di Yogya. Misalnya pelukis Saiful Adnan yang menggunakan skrip ayat-ayat
Alquran sebagai medium seninya. Lebih jauh lagi para pelukis pada masa tahun
60-70 an, di Bandung seperti pelukis Ahmad Sadali dan A.D Pirous yang juga
dosen fakultas seni rupa dan desain di ITB itu, sudah memakai medium seni yang
sama. Terutama penggunaan ayat suci Al Quran untuk seni lukis abstrak lirisnya.
 

Lebih lanjut lagi, pemakaian tulisan latin untuk medium
gambar juga bukan hal yang baru. Seni semacam ini dapat ditemukan pada coretan
“grafiti” yang dibuat orang awam secara secara serampangan di tembok-tembok
pagar rumah atau pagar tembok gedung di perkotaan besar baik di Jakarta,
Bandung maupun di Yogya dan sebagainya.

Namun diluar itu semua apakah penggunaan tulisan atau gambar,
dan atau seni grafiti begitu penting? Apakah ada sesuatu hal yang penting
menjadi catatan seninya? Kita dapat menyimak 
pendapatnya mengenai tembok sebagai sumber gagasan yang tidak habisnya
seperti yang dia katakan

“Tembok
sebagai bentuk pertahanan yang kuat dari gangguan, tempat bersandar dalam
kelelahan tanpa harus di pertanyakan tentang sebuah ketulusan, ia pun bisa
menjadikan teman untuk menitipkan catatan-catatan kecil tentang kegundahan hati
dari anak kolong dan tempat meletakkan motivasi, sebuah kepercayaan dalam
kesendirian, sebagai bentuk kebijaksanaan, kearifan, kasih sayang  suatu sisi lembut yang tidak di tampakkan.”

Analoginya tentang
tembok sebagai visi tidak diragukan lagi, dia membayangkan tembok sebagai hal
yang berguna bagi pertahanan hidup, tentu saja bukan bayangan tembok yang memiliki
lokus (tempat) dan  waktu seperti yang tercermin pada sebuah realitas.
Bukan itu maksudnya. Untuk memahami hal ini perlu didiskusikan apa realitas yang
dimaksud. 

Seperti yang diketahui, hanya pada lukisan-lukisan realisme
dan naturalisme yang  dapat menjelaskan
tempat (di mana) dan waktunya (kapan), misalnya “Tembok di pagi hari” atau
lukisan “Ngarai Sianok Sore Hari”. Dan hal ini menjadi ciri dari lukisan
realisme maupun impresionistis. Pada lukisan-lukisan Syahrial bukan hal ini
yang dimaksudkannya atau yang dipentingkannya. Bayangan tanda-tanda artefak
seperti ini muncul secara berulang dalam karya-karyanya yang ditandai dengan
beberapa  judul lukisan dengan nama
“artefak” (5 buah lukisan), “coretan” atau “coretan pada dinding” (6 lukisan).
Judul-judul lukisan lainnya adalah dalam rangka semacam artefak juga, misalnya
judul lukisan “perangko”, “kembang”, “ornamen”, “kwitansi”, tulisan  dan 
sebagainya.

Realitas semu ini memiliki 
modus yaitu “ dimana dapat tertulis
berbagai pengalaman hidup yang nyata/ real”.
Jadi bertentangan dengan gaya
realisme dalam seni modern yang sifatnya dapat menjelaskan tempat dan waktu.
Kesamaan lukisan-lukisan syahrial dengan seni lukis modern justru terlihat dari
sifat naratifnya (bercerita). Sesuatu yang naratif memang bisa muncul jika
dua  objek berbeda disatukan dalam satu
kanvas.  Mengenai hal ini akan dibahas
lebih lanjut pada karya-karyanya yang dapat dikategorikan sebagai posmo-naratif.
Yaitu sebagai usaha tanpa sadar kembali ke 
tradisi seni realis.

Dalam beberapa diskusi dengan Syahrial, dia selalu
mengemukakan realitas dalam berkarya, jelas bahwa realitas yang dia maksud itu
bukan semacam aliran seni yang pakemnya ada seperti realisme,  impresionisme, ekspresionisme bahkan seni
abstrak pelukis Picasso dan Braque pun bisa berangkat dari realitas yang diabstraksikannya,
menjadi segmen-segmen geometrik atau bentuk dasar alam. Yang dia maksud sesuai
dengan konsep kanvas sebagai kanvas, apa yang terdapat pada kanvas adalah sebuah
realitas yang tentu saja dalam hal ini dapat ditanggapi oleh receiver dengan multi tafsir.
Guratan-guratan kayu, tulisan-tulisan tangan dengan kuas kecil atau kuas besar,
bentuk bayangan struktur pohon atau bayangan semak belukar atau dedaunan,
bayangan pot-pot bunga, bayangan demi bayangan bukanlah bentuk-bentuk yang dimaksudkan
sebagai realitas utuh berdiri sendiri, tetapi kumpulan yang muncul secara
spontan dari gerak hati yang menyerupai dan merekamkan ikon-ikon realitas.

Bagi sang seniman biasanya sebuah bidang kanvas adalah
wilayah lamunan yang menyediakan ruang pintu masuk bagi berbagai kemungkinan
tempat objek-objek gambar disatukan secara tidak terduga. Hal ini berasosiasi
dengan sebuah tembok yang akhirnya penuh dengan objek-objek skrip dan coretan,
semacam kolase ingatan demi ingatan  yang
di wakili kumpulan ikonisitas itu.

Berbeda dengan Sadali atau Saiful Adnan saat akan
menorehkan  skrip kaligrafi itu, sudah
pakem bentuknya, agar tidak berubah maknanya. Jadi seniman  paling tidak hanya bisa  merubah komposisi bentuk dan warna serta  gaya skrip/kaligrafi  karena sumbernya skripnya adalah Alquran yang
tabu untuk diubah. 

Gagasan dan Realitas dalam Berkarya                                   

Dari 28 lukisan yang dipamerkannya, dua buah dilukis pada
tahun 2004,  yaitu lukisan “Bayang-Bayang”
dan ”Proses”, dimana kedua lukisan ini sebenarnya mewakili  kecendrungan hampir semua  lukisan Syahrial.

Kemudian satu lukisan tahun 2010, berjudul “ornamen” . Dan dua
(2)  lukisan bertahun 2011 berjudul  “kembang”dan”nol”; dua (2) lukisan bertahun
2012 berjudul “coretan pada tembok” dan “perangko”;  empat belas (14) lukisan bertahun  2013 yang pada dasarnya mirip baik tema
maupun makna isinya tentang”melihat lebih dekat” dan tentang skrip/tulisan
serta tektur. Kemudian delapan (8) lukisan bertahun 2016 yang tema sentralnya
adalah artefak atau tembok seperti yang telah diuraikan diatas itu. 

Kecendrungan Pertama Lukisan Syahrial:  
Bayangan Alam dan Lingkungan   
                               

Dengan mengamati karya-karya Syahrial dari tahun ke tahun,  paling tidak ada empat (4) tipe atau kecendrungan
seni lukis.  Kecendrungan pertama  adalah Bayangan
Alam dan Lingkungan
. Misalnya pada lukisan “Bayang-Bayang”(150×150 cm) yang
dilukis  tahun 2004 itu kita dapat  melihat bagian  atas 
yang mendominasi area  lukisan
yang melukiskan  kumpulan  tulisan tangan (skrip)  warna putih 
yang seakan menggantikan bentuk 
bintang-bintang malam  hari di
langit yang kelam, barisan tulisan ini seakan awan atau gerakan bintang atau
meteor yang bergerak kearah kiri kanvas, sedangkan bagian di bawahnya seakan
batas horison berkabut, dan selanjutnya pada bagian bawah  terdapat daratan  berwarna abu-abu  putih  
dengan foreground   tanaman semak belukar dengan daun-daunnya
yang runcing seperti daun tanaman palma (palm).

Ciri khas lukisan ini adalah konotasi dan asosiasi kita
terhadap adanya  langit, awan atau
gerakan meteor ke arah kiri, kemudian persepsi kita terhadap  kehadiran horizon, daratan dan semak-semak, dengan
dasar warna abu-abu. Kalau mau jujur 
Judul lukisan “Bayang-bayang”ini sebenarnya mengarahkan imaji kita
kepada  ingatan-ingatan terhadap objek
asosiatif yang digambarkan     di
atas  baik yang dilukis dengan skrip
maupun imitasi bentuk real . 






Ciri lukisan  seperti
ini dapat kita temukan pada karya-karya pelukis  wanita Annette 
Iggulden dari Universitas Deakin Australia.Konsep seni Annette Iggulden
berbeda dengan Syahrial, sebab secara teoritik Iggulden melukis  setelah melakukan penelitian tentang tulisan (manuskrip)  Mesir dan 
kitab suci kuno, kemudian dalam praktiknya dia mengembangkan peng- gunaan
bentuk dan warna  abstrak yang diciptakan
dari bentuk skrip (tulisannya)  ke dalam objek
lukisan-lukisannya. Artinya, dia melukiskan objek melalui tulisan tangan, yang
mirip dengan lukisan langit Syahrial di atas.

Soundscape II | Annette Iggulden | 28x29cm | Image courtesy
of the artist and Watters 

             

Misalnya lukisan-lukisan Annette  Iggulden yang menggambarkan seseorang
melayang dilangit, elemen dasar  dari apapun
yang digambarkan adalah coretan tulisan tangan (skrip), misalnya bayang-bayang,
bentuk-bentuk. Sedangkan lukisan Syahrial bukanlah berangkat dari konsep ini, dan
bukan pula  dari hasil penelitian seperti
itu. 

Tulisan atau skrip yang dikuaskan oleh syahrial justru muncul
begitu saja, sebagai cara untuk mengucapkan sesuatu seperti yang umumnya tulisan
tangannya yang banyak tertera dalam banyak lukisan temboknya.  Ungkapannya dalam hal ini dalam skrip  beberapa lukisan  adalah “untuk melihat lebih dekat” atau “untuk
melihat lebih jauh”. Misalnya seperti yang terdapat pada lukisan “melihat lebih
dekat (2013)
   
Atau skrip dalam bahasa Inggris “to see close up”   yang
terdapat pada lukisan”artefak4”(2016) yang 
sama artinya  sebagai contoh berikut
ini.


Jadi kanvas baginya seakan sebuah objek garapan yang dapat
dilihat lebih jauh atau lebih dekat. Jika dilihat lebih dekat  tak lain  
dari sekumpulan tulisan yang dapat dibaca jika dilihat dari jauh dia
akan menjadi objek lain atau tekstur yang seyogyanya menggantikan objek
tertentu  seperti barisan awan, tulisan di tembok dan sebagainya. Dapat disimpulkan
kecendrungan  Syahrial yang pertama
adalah secara taksadar kembali cara-cara realisme tetapi bukan realisme asli,
ini adalah    tindakan bawah sadar   memori dan  
bayang-bayang ingatan yang berasoasi dengan realitas pengalaman hidupnya
yang di-skripkan di atas kanvas.

Lukisan-lukisan yang memiliki kecendrungan seperti ini juga
terlihat dari lukisan “tentang titik 1”(2013), 
“artefak 1, sd., artefak 5, (2016).

Kecendrungan Kedua lukisan Syahrial,  
Naratif:  Serpihan Memori dan Peta
Ingatan   
 

Sebuah karya seni lukis dikatakan naratif  jika pada gambar itu ada dua atau lebih objek
disatukan dalam  komposisi. Misalnya objek gambar gunung dengan pondok
bercerita tentang
lingkungan pedesaan.  Dan dikatakan
surealistik jika dua objek gambar berbeda disatukan,
misalnya gambar babi berkepala ember. Atau seperti surealisme Yogya yang
menggambarkan petani wanita dengan anaknya 
yang setengah manusia dan setengah batu yang retak dan pecah, atau
gabungan sapi dengan awan, penyatuan dua objek berbeda ini jelas akan
menimbulkan kesan surealistik.

                        

Bagi seniman, dalam sebuah karya seni objek-objek berbeda dapat
datang yang tidak diduga karena imajinasi, lamunan atau gerak tangan   tak sadar untuk menempatkan sesuatu di atas
bidang kanvas atau kertas  gambar. Cara seperti
ini terlihat kreatif ketimbang meniru alam  atau  kegiatan
mewarnai pada seni anak-anak karena guru malas dan sulit untuk melihat dan
mengevaluasi   perbedaan kreativitas di
antara anak asuhnya. Hal ini tidak akan terjadi pada dunia seni yang sebenarnya
adalah dunia kreatif  dalam hal warna dan
bentuk.

Terlepas dari istilah naratif yang sebenarnya sudah
arkaik/kuno karena sudah ada sejak prasejarah. Lalu kapan terjadi lukisan yang secara
teknis  sepenuhnya menyatukan berbagai
hal berbeda dalam sebuah bidang imaji atau kanvas seniman modern? Sejarah seni
modern mencatat bahwa pelukis Pablo Picasso pada saatnya merekatkan kertas
koran pada lukisannya. Teknik ini kemudian telah di perluas bukan hanya
menempelkan kolase, tetapi juga dengan merakit, menggambar ulang,  mem-print,
kemudian print itu dilukis lagi.

Menurut Barbara Auran-Wrenn (1982:85), seninya terletak pada
dalam seleksi dan penataan yang bersifat pilihan pribadi. Dengan cara ini kecil
kemungkinan seniman untuk meniru sesuatu karena hasil sepenuhnya ditentukan
oleh objek-objek yang ditempelkan. Dan kecil pula kemungkinan bahwa hasil
ditentukan gerak tangan yang dikendalikan alam bawah sadar, kecuali kerja
motorik yang diulang-ulang. Karena saat merakit atau menempelkan penuh dengan pertimbangan sadar: apakah
dengan menempatkan sesuatu seperti ini menyatakan sesuatu hal? Apakah tempelan ini dapat membangkitkan
suasana hati? Apakah permukaan sebuah
objek
dibubuhkan dengan bertekstur seperti ini akan menyatakan sesuatu
yang lain? Apakah yang terjadi jika tekstur dan bentuk disatukan dalam sebuah
tata atur tertentu? Sedikit demi sedikit, gagasan baru tentang karya itu mulai meruncing dan memanaskan
hati. Ini menyerupai lamunan yang melintas di benak sewaktu melukis. Dan saat
menyatukan berbagai hal pada sebuah bidang sebenarnya sepenuhnya merupakan
reaksi pribadi, dimana dalam mencipta seniman menemukan diri.

Sifat-sifat seperti ini dapat kita rasakan kehadirannya  secara unik dan berbeda  pada lukisan Syahrial yang berjudul ” perangko”
(2012). Pada lukisan ini perangko jelas tidaklah hasil rekatan atau rakitan,
tetapi dilukis seakan-akan sebuah tempelan yang bersifat pribadi.

Namun dasar pemikirannya tetap beranjak dari
konsep”tembok”itu dan lukisan sebagai rekaman pengalaman hidupnya.  Jelas 
bahwa pengamatan  dan
pengalaman  bertahun-tahun lamanya di
kantor pos dimana   ibunya   bekerja membawa ingatan kepada  skrip  maupun 
tempelan perangko. Lukisan ini dapat saja ditafsirkan sebagai  sebuah surat tua yang sudah lusuh berperangko
Indonesia 25 rupiah. Surat tua seperti ini bisa saja surat tanpa alamat yang tidak sengaja   dibawa ibunya ke rumah karena alamatnya tak
jelas. Kumpulan bentuk dan ragam skrip surat, perangko-perangko, kertas-kertas
lusuh sudah tua  bisa saja adalah sebuah peta
ingatan atau memori  yang   muncul 
dari sebuah pengamatan pribadi seniman pada masa kecil dan ingatan ini
mencuat lagi saat dia  melukis. Apa
narasi di balik lukisan perangko ini? Tentu saja hanya pelukisnya yang tahu.
Dan itu sebuah misteri bagi receiver.

                                                             
                                                               

Hal yang sama juga terlihat pada lukisan yang berjudul
“selamat malam” (2013) ciri-ciri naratifnya terbaca dari gambaran dua orang
anak kecil, satu perempuan yang lebih besar dan satu anak laki-laki yang lebih
kecil. Bahwa ini kejadiannya “malam”, ditandai dengan lukisan bulan sabit dan awan
abu-abu berarak di belakangnya. Di bagian depan terlihat ember, kucing,  tumpahan warna merah muda dan skrip-skrip
tulisan tangan yang tak jelas terbaca. Lukisan ini seakan potongan kertas dari
sebuah buku catatan yang di jilid dengan kawat atau plastik yang telah
diperbesar menjadi sebuah lukisan. Hal ini ditandai dengan barisan kotak hitam
di bagian depan sekali   seakan
lobang  kawat yang digunakan untuk menjilid  buku. Lukisan ini adalah imitasi  lembaran lepas sebuah buku catatan, dimana
pada buku catatan ini tertera gambar dan catatan penulis.Apa yang diceritakan
oleh penulis di kertas ini dengan selamat malamnya?

   

Lukisan ini dibuat tahun 2013    Dari catatan tentang kapan lukisan ini
dilukis, jelas bahwa lukisan ini bukanlah putra-putri dari Syahrial. Sebab dia
memasuki usia perkawinan di sekitar tahun 2011. Mungkin saja lukisan ini
muncul   dari ingatan terhadap
adik-adiknya pada masa kecil. Dan narasi yang akan diceritakan dalam lukisan
ini berkaitan dengan keceriaan dan kebahagiaan masa kecil, dan hal yang tidak
akan terulang lagi pada masa kini.                                                        

Kecendrungan ketiga: Bayangan Tembok dan Objek-objek di atasnya                                        

Kita dapat melihat kecendrungan
ketiga
dari lukisan garapan Syahrial, dimana lukisan tak lain adalah sebuah
tembok bertekstur dengan coretan tertentu atau objek-objek tertentu diatasnya.
Hal ini terlihat pada lukisannya   yang
berjudul” proses” yang  dilukisnya pada
tahun 2004.

Kecendrungan untuk menggarap tekstur secara sadar dapat
ditelusuri kembali saat dia kuliah di jurusan patung ISI Yogyakarta. Walaupun perkenalan itu  hanya singkat, namun kesadaran tekstur
sebagai objek seni tentu menonjol pada seni patung  ketimbang pada seni lukis. Seni patung adalah
objek yang  dapat dilihat dari berbagai
sisi,  disamping untuk dilihat juga untuk
dirasakan permukaannya, perasaan-perasaan seperti halus, lembut, kasar atau
kasat dan tajam  dapat dirasakan dengan
melihat dan meraba permukaan sebuah objek. Pada 
lukisan “proses” di atas judul ini berasosiasi dengan enam helai daun
warna coklat tua  diatas tembok yang
seakan berproses dan  mengering. Sebuah
makna bisa muncul dalam lukisan ini bahwa dunia ini tidaklah abadi, sesuatu
yang tadinya muda dan segar, bisa menjadi tua dan mengering. 

Pelukis sebenarnya memanfaatkan semiotika (ilmu tanda), atau munculnya
objek-objek bertendensi semiotik yang bisa dengan gamblang   dibaca awam. Baik secara ikonisitas, simbol
maupun tanda (sign)  indeks. Kalaupun
tidak bisa dibaca secara simbolik, kekuatan lukisan ini adalah pada ikon dan
indeks.  Indeks adalah tanda indikasi,
seperti ada jejak kaki adalah tanda 
orang  yang liwat berjalan  di pasir, gambar daun adalah ikon (mewakili)
daun, ada daun mengering mengindikasikan (indeks)  ketuaan dan ketidak abadian. Hal yang sama
ditemukan pada lukisan berjudul “tentang titik-1” (2013), “tulisan hijau”
(2013); ”tulisan”(2013), ketiga lukisan yang terakhir ini justru menyampaikan
pesan makna melalui kata-kata skrip. Misalnya “tulisan hijau” skripnya adalah “it was pain yesterday morning”  

Kecendrungan Keempat Tekstur Permukaan dan Objek-objek di atasnya 

Kecendrungan untuk menggarap tekstur ini terlihat dengan jelas pada lukisan-lukisan selanjutnya, misalnya pada lukisan “ornamen” (2010), digarap dengan latar sapuan kuas besar warna coklat tua yang agak pekat   pada kanvas, kemudian sebelum cat akrilik mengering kemudian ditorehkan  benda tumpul melingkar secara berulang pada seluruh bidang kanvas. Maka muncul efek bentuk-bentuk lingkaran dan setengah lingkaran berulang berwarna putih. 

Apakah ada maknanya, sesuai dengan judulnya  “ornamen”, maka  tak lain hanya pencarian nilai estetik
melalui garapan tekstur. Hal yang sama ditemukan pada lukisan berjudul
lukisan“kembang”(2011); ”melihat lebih dekat-2”(2013); pada lukisan “melihat
lebih dekat-3” (2013);  pada pada lukisan
“tentang titik” (2013), ”tulisan”(2013); coretan dinding-1”(2013).

Pada masa kecilnya  
Syahrial hidup diantara peralihan kampung dan kota (semi urban). Tentu
saja di samping pengaruh lingkungan keluarga 
pegawai pos,  lingkungan  daerah Limbukan seperti ini banyak
pengaruhnya terhadap visinya sebagai seniman — yang mengendap semasa kecil di
dalam alam bawah sadarnya — misalnya suasana hati yang  dipengaruhi oleh kesunyian alam pemandangan
dan perbukitan seperti yang  terpantul
dari banyak lukisan-lukisan terakhir yang dibuatnya pada tahun 2016

Dapat disimpulkan bahwa kekuatan utama lukisan-lukisan
Syahrial adalah pada kecendrungan pertama dan kecendrungan kedua. Misalnya pada
lukisan “Bayang-Bayang” (150×150
cm) yang dilukis  tahun 2004,  kita dapat 
melihat bagian  atas  yang mendominasi area  lukisan yang melukiskan  kumpulan 
tulisan tangan (skrip)  warna
putih  yang seakan menggantikan bentuk  bintang-bintang malam  hari di langit yang kelam, barisan tulisan
ini seakan awan atau gerakan bintang yang bergerak kearah kiri kanvas,
sedangkan bagian di bawahnya seakan batas horison berkabut, dan selanjutnya
pada bagian bawah  terdapat daratan  berwarna abu-abu  putih  
dengan foreground   tanaman semak belukar dengan daun-daunnya
yang runcing seperti daun tanaman palma (palm).

Ciri khas lukisan ini adalah asosiasi kita terhadap
adanya  langit, kemudian persepsi kita
terhadap  kehadiran horizon, daratan dan
semak-semak, dengan dasar warna abu-abu. Kalau mau jujur  Judul lukisan “Bayang-bayang”ini sebenarnya
mengarahkan imaji kita kepada 
ingatan-ingatan terhadap objek asosiatif yang digambarkan     di atas 
baik yang dilukis dengan skrip maupun imitasi bentuk real .

     

Kekuatan kedua yang menonjol pada lukisan Syahrial adalah
sifatnya yang naratif yang berasal dari serpihan memori dan peta ingatannya. Sebuah
karya seni lukis dikatakan naratif  jika
pada gambar itu ada dua atau lebih objek yang dapat dikenali (natural) disatukan dalam  komposisi. Dan hal yang unik terlihat pada
lukisan ” perangko” (2012) yang dasar pemikirannya beranjak dari
konsep”tembok”itu sebagai rekaman pengalaman hidupnya. Jelas bahwa
pengamatan  dan pengalaman  bertahun-tahun lamanya di kantor pos dimana   ibunya  
bekerja membawa ingatan kepada 
skrip maupun  tempelan perangko.

Kesamaan lukisan-lukisan Syahrial dengan seni lukis modern justru terlihat dari sifat
naratifnya (bercerita).  Tema karya-karya Syahrial sebenarnya adalah
sebuah kecendrungan kembali ke kekuatan tema tradisi seni lokal yang berangkat dari realisme dan
naturalisme. Sifat-sifat lokal yang muncul secara tidak sadar ini dapat
dikategorikan sebagai gejala-gejala posmoderenisme. Yaitu sebagai usaha tanpa
sadar atau disadari kembali ke  tema tradisi seni yang lama
tetapi dengan teknik dan gaya bahasa
seni yang justru baru. Misalnya
penggunaan skrip (tulisan latin) sebagai salah satu elemen seni
rupa. Yang
bukan lagi semata hanya elemen titik, garis, bentuk, tekstur dan warna dua dimensi, seperti yang terdapat pada elemen seni rupa seni moderen.

Sedangkan kecendrungan ketiga dan keempat, lukisan syahrial
adalah gejala umum dalam seni kontemporer, dimana penggarapan dasar-dasar
visual seperti titik, garis, bidang, tektur dan warna sebagai media lukis
merupakan bahasa umum dapat dijumpai pada karya-karya seniman masa kini sebagai
hasil studi akademik di perguruan tinggi dan sekolah-sekolah seni rupa, namun
penemuan-demi penemuan baru dalam seni lukis yang memanfaatkan unsur dasar
visual ini tetap saja dapat menarik secara visual.

                                                                                                                               Padang, Maret, 2017                                                                                                                                                                                                   

                                      

Getting Info...
Cookie Consent
We serve cookies on this site to analyze traffic, remember your preferences, and optimize your experience.
Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.