Budaya Anak-anak (Child Culture) dan Studi Seni Budaya (Bagian1)

Oleh Nasbahry Couto

Budaya (culture) adalah perilaku sosial dan norma yang ditemukan di masyarakat manusia. Yang di maksudkan dengan kebudayaan ini tentunya adalah kebudayaan orang dewasa, bukan kebudayaan anak-anak (child culture). Dari kedua sisi pandang inilah (budaya orang dewasa dan budaya anak-anak) penulis melihat beberapa permasalahan, khususnya dalam kaitannya dengan pembelajaran seni dan budaya di sekolah, maupun di perguruan tinggi di Indonesia.Dalam paket buku guru dan murid kurikulum tematik terpadu 2013, yang diterbitkan tahun 2015 oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia. Istilah seni budaya menghilang digantikan dengan buku paket untuk murid dan guru bertema “Permainan Tradisional” isinya sebenarnya di antaranya adalah “budaya anak” juga di samping permainan tradisional orang dewasa. Dalam hal ini pemerintah khususnya departemen pendidikan dan kebudayaan tentu akan berpihak membela anak-anak, tetapi kekeliruan ini lama baru dapat di sadari dan muncul kurikulum tematik 2013. 

Pendahuluan 

Seperti yang kita ketahui, budaya (culture) dapat dianggap sebagai
konsep sentral dalam antropologi, meliputi rentang fenomena yang ditransmisikan
melalui 
pembelajaran
sosial
 di
masyarakat manusia. Beberapa aspek perilaku manusia, praktik sosial seperti
budaya, bentuk ekspresif seperti seni, musik, tari, ritual, dan agama, dan
teknologi seperti penggunaan alat, memasak, tempat berlindung, dan pakaian
dikatakan sebagai budaya universal, ditemukan di semua masyarakat manusia.
Konsep budaya material mencakup ekspresi fisik budaya, seperti teknologi,
arsitektur dan seni, sedangkan aspek immaterial budaya seperti prinsip
organisasi sosial (termasuk praktik organisasi politik dan institusi sosial),
mitologi , filsafat , sastra (keduanya tertulis dan lisan ), dan sains terdiri
dari warisan budaya tak benda suatu masyarakat
.[1]
Dalam humaniora,  rasa budaya sebagai atribut individu, adalah
sejauh mana mereka telah menumbuhkan tingkat kecanggihan tertentu dalam seni,
sains, pendidikan, atau tata krama. Tingkat kecanggihan budaya juga terkadang
terlihat untuk membedakan peradaban dari masyarakat yang kurang kompleks. Pandangan
 hierarki seperti itu terhadap budaya
juga ditemukan dalam perbedaan berbasis kelas budaya, misalnya antara budaya
elite dari sosial yang tinggi dan budaya rendah, budaya populer, atau budaya
rakyat kelas bawah, yang dibedakan oleh akses stratifikasi terhadap modal
budaya.
Dalam bahasa umum, budaya
sering digunakan untuk merujuk secara khusus pada tanda-tanda simbolis yang
digunakan oleh kelompok etnis
untuk membedakan diri mereka dari satu
sama lain seperti modifikasi tubuh, pakaian atau perhiasan. Budaya massa
mengacu pada bentuk budaya konsumen yang diproduksi massal dan bermunculan
secara massal yang muncul pada abad ke-20. Dalam ilmu sosial yang lebih luas,
perspektif teoretis dari materialisme budaya berpendapat bahwa budaya
simbolis manusia
muncul dari kondisi material kehidupan manusia, karena
manusia menciptakan kondisi untuk kelangsungan hidup fisik, dan bahwa basis
budaya ditemukan dalam watak biologis yang berevolusi.
Kemudian muncul Pendidikan
Seni Budaya
diberikan di sekolah-sekolah di Indonesia. Muncul karena
dianggap adanya  keunikannya,
kebermaknaannya, dan kebergunaannya– terhadap kebutuhan siswa–
yang terletak pada pemberian pengalaman Estetik dalam bentuk kegiatan
berekspresi, berkreasi dan berapresiasi melalui pendekatan “belajar dengan
Seni”, “belajar melalui seni”, dan “belajar tentang seni”. Dianggap peran-peran
ini tidak dapat diberikan oleh mata pelajaran lain.
Anggapan lain adalah bahwa
pembelajaran seni budaya sangat terkait dengan kehidupan masyarakat Indonesia yang
majemuk, dengan latar belakang budaya yang beraneka ragam,
sehingga
dengan memperkenalkan keanekaragaman budaya dalam pembelajaran seni menjadi
strategi dalam mendukung pelestarian budaya tradisi.
Karakteristik bidang studi
Seni Budaya yang paling menonjol adalah bersifat rekreatif. apabila guru
kreatif untuk memanfaatkan karakteristik bidang studi ini maka akan mampu
membentuk karakter siswa yang mandiri, bertanggung jawab, kreatif,
imajinatif, produktif, dan responsif.
Namun tidak akan menolak
munculnya pemikiran yang lain misalnya  pendidikan
seni dan Budaya yang cocok dengan sosial budaya anak-anak (child culture). Sebab konteks pelestarian budaya dalam pembelajaran
seni budaya baru sebatas pelestarian
budaya orang dewasa
, dan bukan budaya anak-anak. Apakah yang dimaksud
dengan budaya anak-anak?
Seperti yang
dikatakan oleh
Steven
Mintz
, budaya anak-anak adalah yang ada di sekitar dunia imajinatif
dan kreatif anak-anak, seperti:
cerita
rakyat dan humor mereka;
 hubungan sosial anak-anak, termasuk
persahabatan dan interaksi mereka dengan teman sebayanya;
 permainan anak-anak, termasuk permainan, olahraga, dan
permainan komputer dan video;
 dan konsumsi
mereka pada budaya
populer komersial, seperti buku anak-anak, acara televisi, dan film.
 
Seperti yang di kemukakan dalam penelitian oleh  Jackie Marsh (2010/c: 23–39)
yang berpendapat, dalam pendidikan seni dan budaya ada tiga hal yang menjadi
sorotan,
  1. budaya anak-anak itu sendiri (yang harus
    di bedakan dengan budaya orang dewasa),
  2. seni dan budaya
    orang dewasa
    , dan
  3. ketiga adalah peran
    pendidikan seni
    untuk menumbuhkan kreatifitas.

Menurut Marsh, ketiga hal ini sering dipahami
secara berbeda oleh dunia pendidikan. Misalnya terlihat bahwa anak-anak
itu  hidup dalam budaya populer, oleh
media dan teknologi baru seperti internet dan komputer, tetapi mereka juga
hidup dari pengaruh budaya orang dewasa dan juga pengaruh dunia sekolah. Namun
kurang mengenai budaya anak-anak (child culture). Walaupun ketiga hal
itu berbeda tetapi berada dalam jalinan yang sangat erat, yang memungkinkan
salah satu konsep atau disiplin ilmu ini dapat mendominasi yang lain. Dari
ketiga masalah itu mungkin istilah ‘masa kecil’ (masa anak-anak) yang paling bermasalah, apalagi jika adanya  pengakuan bahwa bahwa masa anak-anak itu adalah
bagian dari konstruksi sosial.
Permasalahan di
atas akan memunculkan beberapa pertanyaan
, misalnya apakah batas usia sehingga disebut anak-anak?; Bagaimanakah bentuk budaya anak-anak (baik di
Indonesia maupun di daerah)?
; Apakah budaya anak-anak tradisional, khususnya permainan anak-anak
tradisional itu memang sudah punah, berangsur hilang dan digantikan dengan yang
baru?
Apakah guru
sekolah dasar memahami tentang tentang konsep budaya anak-anak, dan apakah
mereka setuju dengan memasukkan unsur budaya anak-anak ini ke dalam
pembelajaran seni budaya?

Hakikat Pendidikan Seni Budaya yang lama: Transfer Budaya Orang Dewasa pada
Pendidikan Seni Budaya

Pendidikan
seni budaya bukannya tanpa kritik, banyak yang mengkritik, misalnya di australia dan inggris. Tetapi di Indonesia tidak ada yang berani 
mengkritik. Banyak tulisan yang memaparkan orang dewasa telah menjajah dunia
anak-anak, termasuk dalam hal seni. Ini masih masuk akal sebab s
esuai dengan teori Steven Mintz dalam tulisannya “child culture”(1998) mengemukakan delapan
faktor yang memengaruhi budaya anak, di antaranya adalah perang orang dewasa terhadap  anak-anak. Dan Mintz berpendapat perang ini telah terjadi berabad lamanya.

Yang sering dibicarakan dalam pendidikan seni dan budaya umumnya adalah
transfer budaya orang dewasa. Misalnya
Shakti  Maira
 menurutnya
seni dan budaya orang Asia itu sangat terjalin erat. Konsep seni Asia/Timur
berbeda dengan konsep seni Barat karena
 secara tradisional tujuan seni tidaklah dalam
rangka pembuatan ‘seni’ dalam arti  
produknya seperti kacamata orang Barat.
Seni
dalam pengertian sebenarnya terlibat dalam pengembangan dan pendidikan orang di
semua tahap kehidupan: misalnya untuk  pengembangan fisik, intuitif, emosional dan
kognitif anak yang sedang tumbuh; sebagai cara menyalurkan nilai-nilai  keluarga dan masyarakat. Sebagai jembatan
antara dunia alam, manusia dan ilahi; dan sebagai alat untuk meditasi dan
pengalaman transformatif dan pemahaman.

Menurutnya penciptaan dan pembelajaran yang saling
terkait: seni dan pengetahuan yang hampir identik. Seni itu fungsional tetapi
juga indah dan bermakna.
Menurut Shakti  Maira ada dikotomi atau
pertentangan cara Barat dan cara Timur
dalam pendidikan seni, saat Barat terlihat mementingkan nilai
individu (ekspresi) dan
Timur
mementingkan
nilai sosial (seni
dan budaya lokal)
.

Pengaruh
Barat terhadap pendidikan seni di kelas  
menurut Shakti  Maira biasanya terdiri dari kegiatan seperti menggambar, melukis dan objek tertentu. Nilai utama
dari penciptaan seni pada anak
dipandang sebagai pengembangan nilai ekspresi diri
individu
,  dan dengan penekanan ini dianggap telah terjadi pengurangan nilai-nilai komunikatif dan sosial.  
Tetapi oleh penulis pandangan Shakti Maira ini, kurang penting  karena konsep ideologi seni Barat dan Timur
ini terlalu jauh jangkauannya dengan konsep seni anak dan budaya anak-anak.
Apa yang dimaksud dengan budaya
anak-anak?
Sebenarnya apa yang di
bedakan oleh Shakti Maira tentang nilai ekspresi maupun nilai sosial adalah
sebuah pandangan yang sama-sama berangkat dari pandangan budaya orang dewasa. Yang berbeda dengan budaya anak-anak.
Sebenarnya apa yang dibedakan oleh Maira hanya sumbernya, yaitu budaya Barat dan budaya Timur. Kedua-duanya
dalam horison/ pandangan seni, sebetulnya sama yaitu dalam pengertian budaya orang dewasa.
Sebab bagi anak-anak khususnya di Indonesia, budaya Eropa (Barat)  dan Timur (Asia) tidak ada bedanya dalam hal
pandangan “anak-anak dan budaya mereka sendiri”, terutama dalam hal komunikasi,
bermain, dan aturan yang dibentuk sesamanya dan se zamannya.
Jadi logis jika konsep dan pandangan seperti ini dibantah oleh  Janis Boyd, dalam tulisannya “Myths, Misconceptions, Problems and Issues in Arts Education”,
menurutnya p
ara pendukung seni yang memprioritaskan
ekspresi diri
memang lebih peduli dengan pertumbuhan individu daripada aspek budaya
komunal, budaya dan sosial dari seni.
Menurut Janis Boyd, nilai tradisi justru menyebabkan pemikiran kurikulum akan
berbasis pada nilai warisan budaya, namun
 dalam hal ini bertentangan dengan tempat dan nilai
konsepsi seni
 yang lebih humanis.
Jadi
dalam pendidikan seni sebenarnya terdapat dikotomi, mitos dan isu-isu yang  terkait dalam pendidikan  anak-anak dan remaja di sekolah, termasuk yang
ada di Indonesia,  Kita melihat gejala
yang khaostik, dan berbagai pengaruh pemikiran yang tidak konsisten masuk ke
dalam pendidikan seni baik di Indonesia maupun Asia.  Oleh karena itu diperlukan validitas dan
efektivitas filosofi dan pendekatan yang berbeda untuk menilainya. Mungkin banyak yang tidak sadar bahwa  kurikulum seni budaya adalah usaha untuk menghancurkan sendi-sendi pendidikan seni yang justru sangat penting di belahan dunia Barat maupun Asia. 



Kurikulum seni budaya sebenarnya meniru kurikulum pendidikan seni postmoderen Amerika ( yang di Amerika sendiri pendidikan seni posmo ini di tolak). Yang berlaku di Amerika justru modus formalisme plus, yaitu  perbaikan terhadap seni yang mementingkan estetika, yang sebelumnya dianut oleh kurikulum seni  sebelumnya (KTSP), sebagai pengaruh dari tokoh  seperti Clive Bell, Roger Fry, bahkan oleh Herbert Read dan Dewey yang akarnya adalah filsafat Kant, tentang estetika formalis. 


Untuk memahami ini lihat Pernyataan Resmi (Buku Putih) NAEA (National Art Education Association of America
tentang FTC (Form
+ Theme + Context
), NAEA
adalah organisasi guru pendidik seni terbesar di Amerika. Indonesia tidak sepenuhnya meniru pendidikan seni posmo, juga tidak sepenuhnya menerapkan FTC, yang celaka adalah guru-guru seni budaya di Indonesia yang tidak mengerti pendidikan seni itu sebenarnya apa. Ini bukan isapan jempol belaka sebab setelah penulis amati  profesor dan doktor seni di PT  juga tidak mengerti tentang hal ini, dan bingung mau mengajarkan apa.

Seperti
yang diketahui pengertian seni dan budaya itu bukan hanya seni dan budaya orang
dewasa seperti seni rupa,  nyanyian dan
tarian tradisional saja.  Pengertian seni
dan budaya itu juga mencakup seni dan budaya anak-anak itu sendiri  yang sering tidak diperhatikan sebagai subjek,
dan hanya diperlakukan sebagai objek pemikiran orang dewasa.

Hakikat  Budaya Anak –Anak (Child Culture)

Menurut Jenkins (Ed.,) 1998.)
d
alam beberapa tahun terakhir, ilmuwan yang memfokuskan tentang studi
budaya dari berbagai bidang studi telah menata ulang dan menilai isu
sosiologis yang secara khusus menangani peran anak-anak dalam budaya
masyarakat. Ungkapan “budaya anak-anak”
dipopulerkan dalam kumpulan
tulisan yaitu The Children’s Culture
Reader
. Koleksi tersebut, yang diedit oleh Jenkins,
menampilkan berbagai ilmuwan yang membahas tema budaya tentang masa kanak-kanak
dan apa artinya menjadi seorang anak. Jenkins menggambarkan koleksi
tulisan itu sebagai,
“tentang bagaimana budaya kita mendefinisikan apa artinya menjadi seorang
anak, bagaimana institusi
orang dewasa memengaruhi kehidupan anak-anak, dan bagaimana anak-anak membangun
identitas budaya dan sosial mereka
,”.
mumnya para ilmuwan dalam buku ini
memandang anak-anak sebagai “peserta aktif,” yang
memiliki agen sosial dan politik
.(Jenkins, et.al). Bahkan
s
ejarawan Amerika Steven Mintz menerangkan bahwa kritik orang dewasa terhadap
budaya anak-anak
umumnya berfokus pada komersialisasi, komodifikasi (
hal apapun yang dapat ditukar untuk dikomersilkan), dan kolonisasi terhadap anak-anak (Mintz, S., 2009).



Marsh, J., (2010), dalam bukunya yang berjudul “Chilhold, Culture and Creativity: a literature Review”, menjelaskan
istilah masa anak-anak, kebudayaan dan kreativitas adalah tiga
konsep yang
sangat berbeda tetapi berada dalam jalinan yang sangat erat, yang memungkinkan
salah satu konsep atau disiplin ilmu ini dapat mendominasi yang lain. Dari
ketiga masalah itu
mungkin
istilah ‘masa kecil’ (masa anak-anak) yang paling bermasalah, apalagi jika adanya  pengakuan bahwa bahwa masa
anak-anak itu a
dalah bagian dari konstruksi sosial, (misalnya terlihat dari tulisan James, Jenks dan Prout, (1998). . Menurut Marsh, J., (2010), karya sosiolog baru masa kini menekankan gagasan anak sebagai aktor sosial dan menekankan anak sebagai tempat atau pusat yang memiliki struktur dalam
sosial
mereka
sendiri
(lihat Tabel
1).
Model
Masa Kanak-Kanak Menurut Marsh, J., (2010)



Model Tradisional dari Chilhold

  • Anak sebagai tergantung pada orang dewasa
  • anak sebagai berkembang melalui berbagai tahap ketidakdewasaan dalam
    perjalanan untuk menjadi dewasa
  • anak-anak sebagai objek studi dewasa

  • anak sebagai agen
  • anak  yang bukan sebagai orang
    dewasa
  • anak sebagai yang memiliki hak anak tersendiri
  • anak  sebagai peserta aktif dan
    berdampak lebih luas pada dunia sosial


Marsh, (2010), Childhood, Culture and
Creativity: a literature Review. Jackie Marsh adalah Profesor Pendidikan di
University of Sheffield, UK.
Ibid hal.9.
Dalam hal ini Mars membatasi masa anak-anak
itu sampai usia 8 tahun, dan dalam tulisan ini di batasi pada usia 8-9
tahun.

Getting Info...
Cookie Consent
We serve cookies on this site to analyze traffic, remember your preferences, and optimize your experience.
Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.